Pelabuhan Merak dan Bakauheni tak sanggup lagi melayani volume penyeberangan dari Pulau Jawa ke Sumatera. Jembatan penghubung dua pulau bisa menjadi solusi.
Kepadatan penyeberangan dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera dari tahun ke tahun terus meningkat. Signal Pelabuhan Merak sudah tak sanggung lagi memenuhi kebutuhan penyeberangan tampak pada pertengahan Juli hingga September lalu. Saat itu, truk-truk yang ingin menyeberang ke Sumatera harus antre berjam-jam, bahkan berhari-hari.
Pelabuhan yang menjadi urat nadi hubungan darat antara Jawa dan Sumatera tersebut terengah-engah memenuhi kebutuhan penyeberangan yang membludak disaat banyak ferri sedang masuk galangan. Banyak pihak dirugikan mulai dari operator truk, pengusaha yang menunggu kiriman barang hingga operator tol Jakarta-Merak yang mengalami kerugian hingga Rp140 juta per hari. Kerugian total sebagai dampak langsung mau pun tak langsung diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.
Jika kejadian tersebut terulang, yang menjadi taruhan adalah mandegnya pertumbuhan ekonomi terutama daerah-daerah di Pulau Sumatera. Kemacetan pernah mencapai rekor terpanjang hingga 17 km. Pihak Pelabuhan Merak sampai pontang-panting mengerahkan enam kapal bantuan untuk mengatasi kemacetan tersebut.
Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesanggupan sarana penyeberangan yang menjadi urat nadi hubungan Jawa-Sumatera. Jangan sampai ketidakmampuan tersebut menjadi penghambat kebutuhan sektor ekonomi kita.
Jika menilik data volume penyeberangan dari Pelabuhan Merak hingga Bakauheni dari 1997 hingga 2006 yang terus meningkat, pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) menjadi alternatif prospektus untuk memecahkan permasalahan tersebut.
Dari 1997 hinga 2006 permintaan penyeberangan kendaraan roda empat atau lebih meningkat 20% atau dari 1.845.387 kendaraan per tahun (1997) menjadi 2.219.075 kendaraan per tahun (2006). Bahkan kendaraan roda dua meningkat pesat 482% dari 56.149 kendaraan (1997) menjadi 327.084 (2006). Peningkatan jumlah kendaraan yang menyeberang equivalen dengan meningkatnya muatan. Jika pada 1997 hanya 6.794.969 ton kargo, pada 2004 muatan yang menyeberang mencapai 8.025.256 ton kargo atau naik 18%.
Berdasarkan data administrator pelabuhan Merak dan Bakauheni, tren pertumbuhan penyeberangan antarpelabuhan tiap tahunnya meningkat. Kedua pelabuhan saat ini dilayani 24 kapal roll on roll over (ro-ro). Rata-rata memiliki daya angkut 110 kendaraan per trip. Setiap kapal mampu melakukan tiga atau empat trip per hari. Namun pada kenyataannya yang beroperasi sehari-hari hanya 18-20 kapal. Bahkan ketika antrean panjang yang terjadi pada Juli hingga September lalu, sempat hanya 14 kapal yang beroperasi sehingga terjadi penumpukan. Rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) membumbungkan asa akan perbaikan sistem transportasi Indonesia terutama antara pulau Sumatera dan Jawa.
Lama waktu penyeberangan antara Merak-Bakauheni selama dua hingga tiga jam, bahkan lebih disaat pasang, sangat tidak efisien.. Itu pun belum termasuk waktu antrean menunggu masuk ke lambung kapal. Keterlambatan dan gangguan pada beberapa kapal akan menyebabkan penumpukan yang sangat parah dan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Kondisi penyeberangan akan makin parah ketika terjadi permintaan kenaikan seperti pada masa-masa lebaran.
Rencana pembangunan JSS akan memperpendek waktu tempuh penyeberangan antara Jawa-Sumatera. Waktu tempuh bisa dipersingkat menjadi hanya sekitar 45 menit hingga satu jam dengan batas kecepatan jalan tol hingga 80km/jam.
Kekahawatiran matinya jalur ferri, jika JSS beroperasi, tidak perlu dikhawatirkan. Masih banyak daerah di Indonesia, terutama Indonesia bagian timur, yang membutuhkan penambahan kapal ferri. Sebut saja jalur Ketapang-Gilimanuk, daerah-daerah di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara maupun Papua.
Teknologi Tinggi
Kekahawatiran bahaya yang mengintai dari rencana pembangunan dan pengoperasin JSS ini dijawab dengan teknologi tinggi yang akan diterapkan. Jalur jembatan yang ada pada daerah tremor (patahan) dan daerah gempa zona 1, disiasati dengan menerapkan kontruksi tahan gempa. Bahkan menurut Prof Dr Ir Wiratman Wangsadinata dari Wiratman & Associates, teknologi tinggi yang akan diterapkan pada jembatan diharapkan mampu untuk menahan gempa dengan kekuatan 9 pada skala richter (SR), bahkan lebih dari itu. Bahaya tsunami juga bisa dihindari dengan ketinggian jembatan mencapai 70 meter sekaligus juga tidak mengganggu jalur pelayaran internasional di selat itu.
Rencana maha karya anak bangsa senilai Rp90,2 trilliun ini pun direncanakan akan memecahkan rekor jembatan dengan bentangan terpanjang di dunia (longest bridge span) yaitu sepanjang 3,5 kilometer antara-Pulau Ular dan Pulau Sangiang. Saat ini bentang terpanjang ada di Jembatan Selat Messina, Italia, sepanjang 3,3 kilometer dan Jembatan Akashi-Kaikyō di Jepang dengan panjang Bentang 1,99 kilometer.
Namun sebagian pihak mempertanyakan jumlah anggaran yang disedot untuk pembangunan JSS. Nilai Rp90,2 triliun tampaknya sulit dipenuhi jika hanya pemerintah yang menanggung. Tak salah jika pemerintah akhirnya memikirkan untuk merangkul investor.
Hal ini pernah dilakukan pemerintah Italia dalam membangun Jembatan Selat Messina yang tadinya diprotes banyak warganya karena menghabiskan banyak uang negara.
Pemerintah mengakalinya dengan cara membagi dua biaya pembangunan dengan swasta dan memberikan konsesi dalam bentuk hak operasi pada pihak swasta.Namun pemerintah diharapkan tidak hanya mengutamakan kepentingan bisnis semata. Karena, proyek ini akan berdampak langsung ke perekonomian negara terutama kedua pulau tersebut.
Rencana penerapan tarif harus diawasi dengan ketat oleh pemerintah. Berdasarkan hasil studi pra kelayakan pada 1997 tarif akan berkisar pada 1,5 kali tarif tol. Perkembangan terakhir menyebutkan bahwa tarif yang akan diterapkan nantinya adalah 2 kali tarif tol. Batas waktu konsesi pengelolaan juga jangan sampai hanya menguntungkan pengusaha saja.
Proyek ini merupakan yang terbesar di Indonesia dan memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit (lihat grafis). Sebelumnya pemerintah melaksanakan proyek pembangunan jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) yang sampai saat ini pengerjaannya tinggal 1.387 meter lagi dari total 5,4 km. Proyek ini sendiri diresmikan proses pengerjaannya pada akhir masa pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri dan sudah mencapai target penyelesaiannya yaitu pada tahun ini. Proyek ini dijadwal ulang untuk selesai pada 2008.Kesabaran masyarakat mutlak diperlukan untuk menunggu rampungnya pengerjaan proyek ini. Namun bukan berarti masyarakat harus berpangku tangan menunggu proyek ini selesai. Masyarakat harus rajin mengkritisi tiap perkembangan proyek ini agar hasilnya sesuai yang kita harapkan. (pangeran ahmad nurdin)
Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi 8 Oktober 2007
Jumat, 26 Oktober 2007
Rencana Pembangunan Jembatan Penghubung Selat Sunda: Biaya Tinggi Solusi Ringkas
Diposting oleh pangeran di 15.59 1 komentar
Merawat Bumi, Meraup Devisa
Tidak banyak yang menyorot kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di sidang komisi mitigasi dalam High Level Event on Climate Change di New York pada Senin (24/9) lalu. Pada sidang komisi tersebut, Presiden SBY mengharapkan para negara maju untuk lebih berusaha menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Emisi GRK dianggap bisa menyengsarakan negara berkembang yang tidak secara langsung menikmati kemajuan industri negara maju. Presiden SBY juga mengharapkan harga kredit karbon dapat dikatrol ke posisi yang lebih baik. Pernyataan tersebut terkait dengan harga certified emission reductions (CER) karbon yang masih labil, padahal Indonesia memiliki potensi besar untuk menggali pemasukan dari program itu.
Sidang komisi tersebut merupakan persiapan untuk sidang Confrence of the Parties (COP) ke-13 yang akan dilaksanakan di Bali pada 3-14 Desember 2007. Sidang ini akan membahas mengenai perubahan iklim dunia. COP merupakan kelanjutan dari progran yang dilakukan oleh United Nations Framework Covention on Climate Change (UNFCC). Indonesia merupakan anggota dalam forum ini juga sekaligus peratifikasi protokol Kyoto yang merupakan tindak lanjut dari program pertemuan tersebut
Komitmen negara-negara maju untuk mengurangi emisi GRK-nya membawa harapan akan perbaikan lingkungan bumi yang kian rusak. Bagi negara-negara berkembang komitmen tersebut bisa berarti kesempatan baru, yaitu pasar karbon yang telah dilegalkan oleh protokol Kyoto.
Sebagai negara berkembang dan memiliki sumber daya alam terbarukan serta lahan hutan potensial yang sangat luas, Indonesia jelas memiliki potensi sangat besar untuk menjadi pemasok utama pasar karbon dunia. Program lingkungan yang dilakukan Indonesia sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber pemasukan yang cukup menggiurkan bagi pemerintah. Kebutuhan negara maju yang telah terikat dalam pernyataan pengurangan emisi dapat dijadikan ladang bisnis bagi negara berkembang sekaligus menyegarkan bumi yang makin sesak dan tidak nyaman ini.
Kesempatan tersebut datang lewat mekanisme pembangunan bersih (MPB) atau clean development mechanism (CDM) yang merupakan salah satu isi dari protokol Kyoto dan telah dilegalkan oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang No 17/2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto. Peraturan tersebut juga dikukuhkan oleh Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 206/2005.
Mekanisme ini merupakan salah satu cara negara industri maju yang masuk dalam Lampiran 1 (annex 1) Protokol Kyoto untuk menepati janji pengurangan emisi mereka. Dalam mekanisme ini diatur cara negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfer bumi tanpa mengurangi emisi dari kegiatan industri mereka. Hal ini yang seringkali digunakan oleh para negara industri, agar tidak perlu melakukan penurunan emisi sangat besar pada industri di negaranya yang bisa berdampak langsung pada perekonomian negara mereka. Mereka dapat membeli poin atau kredit penurunan emisi karbon dari proyek ramah lingkungan di negara berkembang. Satu kredit karbon atau CER setara dengan potensi pengurangan emisi satu ton karbon.
Potensi tersebut akhirnya melahirkan pasar karbon dunia dan banyak pelaku yang “bermain” di dalamnya. Berdasarkan perhitungan National Strategy Studies (NSS), pasar karbon dunia diperkirakan berada pada kisaran 1.250 juta ton per tahun. Potensi ini sangat menggiurkan dari segi bisnis. Permintaan tersebut akan makin bertambah karena industri di negara maju tak dapat direm perkembangannya sehingga model kompensasi emisi ini akan terus berkembang.
Potensi proyek-proyek MPB tersebut ada di sektor energi yaitu pembangunan proyek-proyek energi terbarukan (renewables) pembangkit listrik tenaga air, sel surya, bio -fuel, tenaga angin, dan panas bumi. Selain itu, proyek-proyek efisiensi dan konservasi energi (yang dapat diterapkan khususnya di sektor transportasi dan energi), dapat pula ditawarkan sebagai proyek MPB untuk menghasilkan manfaat ekonomi.
Proyek kehutanan juga bisa dimasukkan dalam potensi pemasukan melalui MPB. Contoh proyek kehutanan yang dapat dijadikan MPB adalah reforestasi (pengembangan kembali wilayah hutan yang telah rusak), Hutan Tanaman Industri, agroforestri, hutan kemasyarakatan (social forestry), dan penghijauan. Potensi penyimpanan karbon pada proyek-proyek itu berkisar 50-300 ton karbon per hektare (NSS).
Indonesia saat ini memiliki potensi (MPB) dalam pasar karbon sebesar 25 juta ton CO2 per tahun atau 125 juta ton CO2 hingga 2012 yang merupakan akhir komitmen protokol Kyoto. Ini berarti sebesar 2,1% potensi pasar CER dunia, bahkan jika dimasukkan peresapan karbon melalui hutan maka angka tersebut akan bergeser ke 5%. Jumlah ini merupakan terbesar kedua di Asia setelah China.
Jika keseluruhan CER tersebut dijual pada harga kuota sebesar USD1,83 (Rp16.500) per ton gas setara karbon, yang merupakan harga batas bawah, maka akan menghasilkan USD228 juta (Rp2,052 triliun) di akhir 2012. Dari jumlah tersebut biaya yang dikeluarkan untuk biaya adaptasi sebesar USD4,6 juta (Rp41,4 miliar). Lalu biaya yang dikeluarkan untuk melakukan berbagai program MPB sebesar USD130 juta (Rp1,17 triliun). Total pemerintah Indonesia akan mengantongi uang sebanyak USD94 juta (Rp846 miliar) selama masa MPB. Angka tersebut atau sekitar USD24 juta (Rp216 miliar) per tahun.
Keuntungan akan lebih besar jika pemerintah dapat menemui harga yang cocok di pasar. Contoh keberhasilan program ini dapat kita lihat di Meksiko. Sebanyak 400 petani skala kecil dan 20 komunitas menanam pohon di sekitar lahan pertanian sebagai penyerap karbon dibantu suatu organisasi lingkungan hidup lokal yang bertindak sebagai perantara. Mereka berhasil menjual kredit karbon sebesar 17 ribu ton karbon per tahun seharga USD10 dan USD12 per ton pada International Federation of Automobiles.
Penghasilan mereka dari penjualan CER sekitar USD170 ribu (Rp1,530 miliar). Bahkan Face Foundation, suatu organisasi nirlaba independen, berhasil mengembangkan lima portofolio proyek di lima negara yang mencakup 135 ribu hektare yang menyerap 21 juta ton karbon. Lembaga nirlaba ini lalu menginvestasikan keuntungannya dalam penanaman kembali hutan di berbagai negara agar bumi makin nyaman sesuai tujuan mereka.
Butuh Kawalan Pemerintah
Selama ini masyarakat umum masih tidak tahu mengenai proyek ini. Bahkan masyarakat cenderung apatis dan menganggap campur tangan pihak asing dalam permasalahan lingkungan Indonesia dianggap sebagai upaya asing untuk “mengobok-obok” negara ini. Padahal mekanisme ini jelas-jelas nyata ada dan berpotensi menghasilkan devisa dalam jumlah besar. Keseriusan pemerintah sangat diperlukan dalam mensosialisasikan proyek ini. Pemerintah harus mau menyingsingkan lengan baju untuk mengkampanyekan proyek yang bisa menyelamatkan bumi sembari meraup devisa.
Bantuan teknologi mutlak harus dilakukan pemerintah. Insentif juga menjadi syarat karena proyek ini biasanya mencakup penggunaan teknologi tinggi. Pemerintah juga harus memberikan kondisi investasi yang kondusif. Karena bagaimanapun juga investasi dalam bentuk pengembangan lingkungan ini menghadapi kondisi ketergantungan yang sangat tinggi terhadap alam. Pasar CER yang masih labil membuat pemerintah harus menjajaki kemungkinan mencapai dasar harga yang menguntungkan.
Pembentukan situasi investasi yang kondusif ini dapat dilakukan dalam bentuk menyiapkan perangkat hukum yang memberikan kenyamanan dan ketenangan baik bagi masarakat, investor, maupun negara maju yang membeli CER Indonesia. Mari kembalikan bumi kita yang bersih dan menyenangkan. (pangeran ahmad nurdin)
Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi 22 Oktober 2007 Read More..
Diposting oleh pangeran di 15.55 0 komentar
Protokol Kyoto, Lidah Bercabang AS dan Australia
Protokol Kyoto merupakan sebuah perjanjian Internasional yang mengharuskan negara maju untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) antara 2008-2012 dalam kisaran tertentu yang disepakati. Setiap negara maju yang meratifikasi protokol ini setuju untuk memenuhi target pengurangan emisinya.
Target protokol ini mencakup 6 jenis gas rumah kaca utama yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitroksida (N2O), gas-gas hidrofluorokarbon (HFCs), gas-gas perfluorokarbon (PFCs), dan sulfurheksafluorida (SF6). Berbagai gas berbahaya tersebut disinyalir telah terpapar melebihi batas yang mampu ditampung alam sehingga menciptakan ketidakseimbangan dalam bentuk GRK dan melubangi ozon sehingga menyebabkan pemanasan global.
Namun, Amerika Serikat (AS) dan Australia, sekalipun telah menandatangani, ternyata menyatakan tak akan mengikuti perjanjian tersebut. Bahkan Prsiden George W Bush pada 2001 lalu menyatakan tak akan meratifikasi kesepakatan tersebut. Padahal AS merupakan penyumbang 720 juta ton GRK per tahun setara karbondioksida. Angka tersbut setara dengan 24% emisi total dunia. Bahkan dalam “Mandat Berlin” yang merupakan COP pertama, AS terhitung paling getol mengkampanyekan masalah emisi ini.
Australia pun segendang sepenarian dengan AS. Keduanya beralasan kerugian ekonomi yang mungkin ditimbulkan program tersbut membuat mereka khawatir. Amerika khawatir akan kehilangan USD440 milliar per tahun dengan program efisiensi ini. Selain itu Amerika juga merasa iri karena China tak dimasukkan ke dalam negara industri maju, padahal Amerika menganggap China sebagai kompetitor bisnisnya. (pangeran ahmad nurdin)
Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi 22 Oktober 2007
Diposting oleh pangeran di 15.42 0 komentar
Sayangi Alam, Sayangi Diri
Bumi makin panas dari hari ke hari, iklim makin tak menentu dan bencana alam terjadi dimana-mana. Banyak yang sadar bahwa hal tersebut nyata terjadi. Namun ternyata belum banyak yang sadar apa penyebab utama dari kondisi tersebut, bahkan makin sedikit yang sadar cara untuk menanggulangi kondisi tersebut beserta dampaknya.
Itulah pemanasan global. Banyak orang yang merasakan namun belum banyak yang tersadarkan. Pola hidup manusia sudah terlalu menyakiti alam ini. Polusi sudah dianggap jamak laiknya tidak menjadi soal lagi.
Sebenarnya gejala fenomena tersebut sudah di depan mata. Jika kita ingat di bangku sekolah dasar kita diajarkan mengenai musim hujan yang ada pada September hingga Februari dan selebihnya musim panas. Namun sekarang, jika kita tanyakan pada petani atau pelaut yang selalu berhubungan dengan musim maka jawaban yang muncul adalah kebingungan dan ketidakpastian.
Musim kemarau makin panjang sedangkan musim hujan makin pendek dengan curah yang sangat besar. Kadangkala di tengah musim panas banjir datang meluluh lantakkan sawah. Di lain waktu kekeringan melanda ketika para petani baru memulai masa tanam sehingga terjadi gagal panen.
Indonesia merupakan negara dengan hutan hujan tropis terluas kedua didunia setelah Brasil. Kawasan hutan tersebut oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ditetapkan sebagai kawasan paru-paru dunia karena mampu menyerap berbagai gas berbahaya yang dihasilkan berbagai kegiatan manusia.
Namun ternyata potensi tersebut seringkali dikalahkan oleh motif ekonomi. Kerakusan segelintir orang untuk memperkaya diri akhirnya membuat hutan Indonesia kian menggenaskan. Tercatat pada 2006 lahan hutan yang rusak di Indonesia mencapai 77.786.642 hektare (dephut). Persentase kerusakan tersebut mencapai rata-rata 49% dari lahan hutan. Kerusakan terparah berada di daerah Sumatera yang kehilangan 28.328.360 hektare lahannya.
Sudah saatnya kita semua sadar mengenai pentingnya keberadaan hutan. Bumi ini adalah suatu biosfer yang berarti semua makhluk yang ada di atasnya termasuk juga alam berada dalam satu kesatuan sistem. Ketimpangan atau disfungsi pada salah satu sistem akan menyebabkan kerusakan pada sistem lainnya.
Bukan tidak mungkin jika hal ini tak segera dibenahi keseluruhan sistem tersebut akan lumpuh. Ozon bisa saja bolong lalu sinar ultraviolet dan sinar berbahaya lainnya leluasa menyengat kulit kita menyebabkan kanker. Es di kutub akan terus mencair yang bisa menyebabkan bumi tenggelam. Ini bukan hanya khayalan untuk menakut-nakuti, namun merupakan kemungkinan yang nyata bisa terjadi.
Keramahan terhadap alam adalah jalan satu-satunya untuk menanggulangi berbagai bahaya yang mengintai tersebut. Kita dapat memulai dengan diri kita sendiri. Seperti yang dilakukan Al Gore, mantan calon presiden Amerika Serikat, dengan film dokumenternya “An Inconvinient Truth” yang sukses diganjar Nobel Lingkungan membantu menyadarkan banyak orang mengenai bahaya lingkungan yang mengintai. Dia memulai hal tersebut dari diri sendiri. Al Gore mengkompensasi emisi karbondioksida dari aktivitasnya dalam bentuk program ‘netral karbon’. Maksud dari program ini adalah emisi dari segala aktivitas Al Gore akan dihitung dan dikompensasikan dengan penanaman pohon yang mampu menyerap emisi karbon sesuai jumlah yang dihasilkan aktivitasnya.
Jikalau kita tak mampu melakukan hal seperti itu karena memerlukan biaya yang tinggi, mari kita mulai dengan bertindak lebih ramah terhadap lingkungan. Gunakan kendaraan dan bahan bakar rendah emisi, kalau bisa gunakan kendaraan umum. Manfaatkan bahan yang mudah diurai tanah dan daur ulang barang yang masih bisa dimanfaatkan. Yang terpenting adalah mulailah dari diri kita sendiri. Lestarikan dan sayangilah alam ini. (pangeran ahmad nurdin/litbang SINDO)
Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi 22 Oktober 2007
Diposting oleh pangeran di 15.38 0 komentar
Bermula dari Proyek Tri Nusa Bima Sakti
Pada 1960-an sebuah pemikiran besar terbetik dari relung ide Prof. Dr. Sedyatmo (alm), seorang guru besar di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ide yang tergolong berani pada kondisi Indonesia zaman itu adalah mengenai hubungan langsung antara pulau Sumatera dan Jawa, dua pulau tersibuk di Indonesia.
Gayung bersambut, ternyata ide tersebut mendapat respon positif dari pemerintahan Presiden Soekarno. Pada 1965 uji coba desain jembatan Sumatera-Jawa (Jembatan Selat Sunda) dibuat di ITB. Hasil dari percobaan tersebut akhirnya dapat disampaikan ke meja Presiden RI Soeharto pada awal Juni 1986.
Pemerintah lalu mencanangkan suatu mega proyek yang diberi nama Tri Nusa Bima Sakti. Proyek ini adalah proyek yang berusaha mengubungkan pulau Sumatera-Jawa-Bali dalam satu jalur darat utama. Presiden Soeharto lalu menunjuk Menteri Negara Riset dan Teknologi / Kepala Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) BJ Habibie untuk menangani proyek ini.
Rencana jembatan penghubung antar pulau Sumatera, Jawa, dan Bali tersebut direncanakan akan terkoneksi dengan rencana jalan raya bebas hambatan Asia (Asian Highway). Namun mega proyek ini ternyata mendapat banyak hambatan, terutama finansial. Sampai saat ini baru proyek jembatan Suramadu saja yang sudah terealisasi dan direncanakan menghabiskan anggaran sebesar Rp3,27 trilliun.
Pada pertengahan 1990-an, kembali pra-studi kelayakan (pra feasibility study) JSS dilakukan oleh swasta dengan Wiratman & Associates milik Prof Dr Ir Wiratman Wangsadinata. Studi tersebut mengestimasi proyek ini akan menyedot dana sekitar Rp25 triliun dengan masa konstruksi 10 tahun. Waktu itu sudah direncanakan jalan akan terdiri dari enam jalur (dua arah) dan trek ganda kereta api. Selain itu juga akan dibuat sarana peristirahatan dana sarana penunjang lainnya.
Ternyata hantaman krisis ekonomi membuat rencana tersebut menjadi di luar jangkauan kemampuan pemerintah Indonesia. Proyek yang sempat akan ditangani oleh Ari Sigit, cucu mantan Presiden Soeharto, akhirnya kandas di tengah jalan.
Penandatanganan Memorandum of Agreement (MOA) antara Pemerintah Daerah (pemda) Lampung dan Banten pada 10 Agustus 2007 membawa angin segar bagi mega proyek ini. Akhirnya Memorandum of Understanding (MoU) pra kajian Jembatan Selat Sunda (JSS) yang menjadi dasar pelaksanaan proyek ditandantangani di atas Kapal Tunas Wisesa milik Tomi Winata pada 3 Oktober 2007. MoU tersebut ditandatangani oleh Gubernur Lampung, Banten, serta kabupaten-kabupaten di pesisir selat Sunda. Wiratman Wangsadinata dari Wiratman & Associates dan Tomi Winata selaku pemilik PT Artha Graha, pengembang jalan tol antarpulau ini juga menandatangani selaku pelaksana. Penandatanganan juga disaksikan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta dan Menteri Sekretaris Negara, Hatta Rajasa.
Besar harapan kita pemerintah memberikan perhatian serius bagi proyek yang dapat memajukan perekonomian bangsa ini serta memanjukan gengsi di mata dunia. Dengan panjangnya masa pembangunan, jangan sampai pemerintah hanya menjadikan proyek ini sebagai proyek politis demi keuntungan sesaat mencari popularitas. Masyarakat pun harus selalu kritis mengingat track record korup pemerintah Indonesia. Proyek secanggih dan sebesar ini tak memberikan ruang sama sekali untuk kesalahan yang mungkin timbul oleh ulah pejabat korup.(pangeran ahmad
Diposting oleh pangeran di 13.36 0 komentar
Sarana Transportasi Massal: Obat Mujarab Keruwetan Kota
Di tempat lain penumpang berjubelan di dalam kereta dan bus kota. Beberapa bahkan rela mengadu nyawa tidak memperdulikan keselamatan dengan bergelantungan di pintu bus maupun kereta. Bahkan ada juga pengguna jasa kereta yang naik ke atap kereta seolah tak takut menghadapi maut yang bisa menghampiri.
Kondisi tersebut merupakan potret ringkas kesemrawutan transportasi kota Jakarta. Menu yang mau tak mau harus diterima warga sekalipun dengan hati mendongkol. Kota sejuta impian yang mulai tergopoh-gopoh menanggung beban derasnya urbanisasi dan kaum komuter yang memenuhi kota di jam sibuk. Pemerintah Kota (Pemkot) DKI Jakarta pun bak tak sanggup lagi mengatasinya.
Jakarta saat ini sudah menjadi megapolitan yang terkoneksi saling menopang dengan wilayah sekitarnya. Konsep ini biasa dikenal dengan nama Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Tak pelak berbagai masalah muncul karena ketidakmampuan kota untuk menyamai laju pertumbuhannya. Kondisi transportasi sudah begitu ruwet karena jalan tak mungkin lagi diperluas namun kendaraan terus bertambah. Sarana transportasi umum pun masih kurang mampu menanggulangi derasnya perkembangan sang ibukota.
Beberapa kota terkenal di dunia memiliki problem kemacetan yang sama peliknya dengan Jakarta. Bahkan New York di Amerika Serikat sangat terkenal dengan jalannya yang selalu macet. Namun kondisi tersebut terus membaik seiring keinginan pemerintah kotanya untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Kemacetan di kota besar bukannya tak bisa ditanggulangi. Semua kembali kepada political will dari pemerintah untuk memperbaikinya. Sudah terbukti di beberapa negara kemacetan yang nampak tak mungkin ditanggulangi, ternyata selesai dengan perencanaan sistem transportasi massal yang mumpuni.
Sebut saja Jepang dan Prancis yang begitu terkenal dengan sistem kereta apinya. Contoh lain yaitu negara berkembang seperti Sao Paulo di Brasil dan Bogota di Kolombia yang kemampuan sistem bus rapid transit-nya (BRT) dapat dibanggakan. Kesemua sistem tersebut dapat dengan nyata mengurangi pemakaian kendaraan pribadi. Pengalihan ke sarana transportasi massal tersebut menciptakan kota yang lebih nyaman dan lebih efisien dalam pemakaian energi.
Jakarta Surga Kendaraan Pribadi
Tak salah jika kita anggap Jakarta sebagai surga bagi kendaraan pribadi, terutama mobil. Jika diperhatikan, nampak begitu banyak sarana transportasi disiapkan untuk pengguna kendaraan yang dari segi jumlah hanyalah minoritas di Jakarta.
Kondisi tersebut akhirnya membuat warga makin terpacu untuk membeli mobil dan sepeda motor. Ini bagaikan bom waktu bagi Jakarta. Selama ini rata-rata pertumbuhan jalan di Jakarta tak mampu mengimbangi pertumbuhan jalan raya. Bahkan berdasarkan hasil survey Japan International Corporation Agency (JICA) lalu lintas Jakarta akan mati pada 2014 jika tak dilakukan perbaikan sistem transportasi.
Dari 2001-2005 saja jumlah kendaraan di Jakarta naik sebesar 103,9%. Kalau kita lihat dari jenisnya, penambahan terbesar ada pada kendaraan pribadi yaitu sepeda motor (156%) dan mobil penumpang (56%). Bandingkan dengan bus yang hanya bertambah sebanyak 24,7%. Bahkan dari 2003-2005 pertambahannya hanya sebanyak 850 saja (lihat tabel 5).
Tabel tersebut memberikan gambaran yang jelas kepada kita mengenai tren transportasi kota ini yang sangat condong ke pemakaian kendaraan pribadi. Sarana trasportasi massal yang nyata-nyata menjadi tulang punggung transportasi para komuter kota Jakarta ternyata dianaktirikan (lihat tabel 2 dan 3).
Kalau kita tengok di negara yang sudah cukup maju dalam pelayanan publiknya maka angkutan umumlah yang akan mendapatkan prioritas. Bahkan berbagai peraturan dibuat agar warga beralih ke sarana transportasi umum. Dapat kita tengok misalnya di Jepang yang menerapkan tarif parkir yang sangat tinggi di pusat kota. Selain itu disana juga diterapkan road pricing dan congestion charge bagi kendaraan pribadi. Maksud dari peraturan tersebut adalah kendaraan yang masuk pusat kota akan dikenakan biaya masuk, sehingga akan mengurangi minat warga untuk memanfaatkan kendaraan pribadi dan akhirnya beralih ke transportasi massa.
Kemacetan menimbulkan begitu banyak kerugian bagi masyarakat. Mulai dari masalah ekonomi, sosial dan kesehatan. Berbagai zat berbahaya terpapar ke udara dari hasil pembakaran bahan bakar kendaraan (lihat tabel 6).
Saat ini kerugian ekonomi tiap tahun yang disebabkan oleh kemacetan lalu lintas di Jabodetabek mencapai Rp3 triliun untuk biaya operasi kendaraan dan Rp2,5 triliun untuk waktu perjalanan (Study on Integrated Transportation Master Plan/SITRAMP 2004). Berbagai penyakit pernapasan juga mulai menjadi masalah banyak warga ibu kota. Bahkan menurut data penelitian lanjutan dari SITRAMP dampak kerugian kesehatan di Jabodetabek pada 2002 akibat paparan PM10 (kumpulan partikel berbahaya yang lebih kecil dari 10 milimeter) sebesar Rp2,815 Trilliun. Angka ini datang dari biaya kesehatan dan kerugian fisik yang diakibatkan paparan polusi tersebut.
Perekonomian juga terpukul telak. Kemacetan membuat ongkos transportasi melonjak yang akhirnya membuat harga menjadi tidak ekonomis lagi. Akses yang buruk ke pelabuhan juga membuat banyak pengapalan barang tertunda sehingga merugikan para pelaku ekonomi.
Busway Langkah Awal Reformasi Transportasi Kota
Sarana bus rapid transit (BRT) yang biasa kita kenal dengan nama busway Transjakarta menjadi salah satu solusi alternatif untuk merapikan benang kusut transportasi kota Jakarta. Busway saat ini menjadi sarana transportasi publik yang paling diminati warga Jakarta.
Meskipun pada awal kemunculannya mendapat banyak tentangan karena dianggap sebagai pemborosan dan akan mengganggu pengguna jalan lainnya, namun keberhasilannya menepis keraguan banyak pihak. Sistem transportasi massal yang mahal ini ternyata jelas menjadi salah satu solusi keruwetan kota. Moda inipun dipilih karena paling murah dibanding moda lainnya dengan kapasitas angkut yang cukup besar.
Biaya pembangunan busway rata-rata USD2-5 juta perkilometer. Angka tersebut jauh lebih murah dibandingkan monorel yang membutuhkan biaya pembangunan USD10-25 juta perkilometer atau jika dibandingkan dengan subway atau mass rapid transit (MRT) yang mencapai USD50-100 juta perkilometer.
Pada 2006, busway sukses mengangkut rata-rata 38.828.039 penumpang yang berarti sebanyak 120.000 penumpang perhari. Angka ini hanya mampu disaingi oleh sarana kereta api Jabotabek yang mampu mengangkut 110.960.700 penumpang (2005). Bahkan sampai Juli ini busway telah mengangkut 27.140.688 penumpang yang berarti 200.000 penumpang per hari.
Angka tersebut mulai mendekati kinerja KRL, angkutan utama warga Jabodetabek. Memang hingga saat ini KRL tetap menjadi sarana transportasi publik yang paling berpengaruh di Jakarta. Namun, buruknya pelayanan, jadwal tak teratur, dan ketidaknyamanan masih menjadi pekerjaan rumah PT Kereta Api (KA). Walaupun PT KA sudah mengoperasikan KRL Ekspres dan Semi Ekspres yang lebih nyaman dan cepat, namun pelayanannya masih menyedihkan.
Pencapaian baik busway dalam mengurangi permasalahan transportasi kota diharapkan dapat menstimulus kesadaran warga akan pentingnya sarana transportasi masal untuk mengatasi keruwetan kota. Keberhasilan yang dicapai juga diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi berbagai kota besar lainnya di Indonesia untuk menerapkan konsep transportasi masal yang matang.
Butuh Transportasi Intermoda
Surat Keputusan (SK) Gubernur No 84 tahun 2004 tentang Pola Transportasi Makro di Jakarta merupakan langkah tepat pemerintah. Pola ini akan menggabungkan berbagi model transportasi dalam satu sistem. Jika, pola ini bisa terlaksana, prediksi yang mengatakan pada 2014 lalu lintas Jakarta akan mati, akan termentahkan.
Kita juga bisa mengharapkan langit biru di kembali menghiasi Jakarta dengan berkurangnya polusi yang dihasilkan kendaraan bermotor. Dengan penggunaan sarana transportasi massal, polusi dapat direduksi sangat signifikan. Hal ini karena kendaran pribadi yaitu sepeda motor dan mobil menjadi penyumbang utama polusi udara di Jakarta dibanding moda transportasi lainnya. Keduanya menghasilkan 317.007 ton Karbondioksida (CO2) per tahun (120.002 oleh motor dan 197.005 oleh mobil). Bandingkan dengan total polusi yang dihasilkan bus sedang (68.249) dan bus besar (12.105) to CO2 per tahunnya. (lihat tabel 6)
Penggabungan sistem BRT, MRT, Light Rapid Transit (LRT), subway, dan transportasi air akan menciptakan kondisi hidup yang menyenangkan bagi seluruh warga Jabodetabek. Jangan sampai kemajuan yang telah dicapai melalui pengembangan busway dan pencanangan pelaksanaan SK tersebut menjadi kontraproduktif oleh penanganan yang asal-asalan dan sikap aji mumpung yang sering menghinggapi birokrasi kita. (pangeran ahmad nurdin)
Diposting oleh pangeran di 13.32 0 komentar
Transportasi untuk Kaum Mayoritas
Permasalahan transportasi kota juga merupakan masalah politik, tidak melulu masalah teknik atau tata perencanaan kota (planologi). Yang dimaksud dengan politis disini adalah pilihan mana yang akan diuntungkan oleh kebijakan transportasi kota yang dihasilkan. Hal tersebut menjadi sangat politis karena jelas-jelas menujukkan arah keberpihakan pemerintah.
Dalam transportasi kota ada dua kutub besar yang saling memerlukan perhatian. Keduanya yaitu kaum berpunya yang memiliki mobil pribadi yang jumlahnya hanya 17% dari penduduk sedangkan 83% lainnya warga Jakarta yang merupakan mayoritas adalah pengguna angkutan umum. Dari grafis 3 dapat kita lihat bahwa memang kendaraan pribadi mayoritas menjadi moda transportasi utama kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi. Bahkan begitu banyak lahan potensial di Jakarta habis hanya untuk menjadi lahan parkir saja.
Dari sekian banyak jumlah perjalanan per hari yang dilakukan oleh penduduk Jabodetabek hanya 10% yang menggunakan mobil pribadi dan 13% yang menggunakan sepeda motor, sisanya menggunakan sarana transportasi massal (lihat tabel 2).
Kebijakan transportasi harus dirumuskan untuk pro terhadap rakyat. Artinya, kebijakan yang diambil harus memperhatikan kebutuhan mayoritas masyarakat yang masih menggantungkan sarana transportasinya pada sarana transportasi massal. Pemerintah harus terus menggenjot perkembangan tumpuan masyarakat ini. Perhatian yang diberikan terhadap sarana transportasi massal harus lebih besar dibanding yang diberikan terhadap kendaraan pribadi.
Masyarakat Berkorban
Mau tak mau untuk mencapai berbagai keuntungan yang ditawarkan oleh sistem transportasi masal masyarakat harus mau berkorban. Pekerjaan konstruksi sarana dan prasarana tersebut memang akan memakan biaya yang tidk sedikit. Masyarakat juga harus rela dengan efek lainnya yaitu kemacetan yang ditimbulkan selama proses konstruksi.
Kaum yang lebih beruntung yang dapat mengakses kendaraan pribadi pun harus mau mengalah untuk sebagian besar warga kota ini. Satu jalur yang diambil busway untuk mayoritas warga Jabodetabek tak akan berarti apa-apa dibandingkan dua bahkan tiga jalur untuk kendaraan pribadi. Pajak kepemilikan kendaraan yang dibayarkan para pemilik kendaraan pribadi bukanlah suatu alasan pembenaran mereka dapat menguasai jalan raya atau bahkan merasa berhak untuk menyerobot jalur busway. Jalan raya adalah milik semua warga Jakarta dan semua memilki hak sama untuk mengaksesnya. Bagaimanapun tak ada kata terlambat untuk suatu perbaikan. Mari wujudkan Jakarta yang nyaman bagi semuanya.(pangeran ahmad nurdin)
Diposting oleh pangeran di 13.31 0 komentar
Wacana Penambahan Personel TNI: Minim Anggaran, Utamakan Alutsista
Tak terkecuali para wakil rakyat, menteri pertahanan maupun rakyat dibuat heran. Bahkan pernyataan Panglima TNI-AD tersebut terlontar setelah Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, mengeluarkan pendapatnya mengenai TNI yang sudah terlalu ‘gemuk.’ Dari titik ini pertanyaan mengerucut apakah penambahan jumlah tentara sebanyak itu memang dibutuhkan Indonesia.
Untuk menjawab hal tersebut tentunya kita harus menyesuaikan jumlah angkatan perang dan luas wilayah Indonesia Indonesia yang harus dijaga. Besar kecilnya jumlah pasukan yang diperlukan tentunya harus merujuk pada, kondisi geografis, luas wilayah, dan faktor ancaman terhadap negara. Saat ini terdapat 382.236 tentara dari berbagai kesatuan di Indonesia. Komposisinya adalah 292.976 prajurit pada AD, 60.126 pada Angkatan Laut (AL), dan 29.134 pada Angkatan Udara (AU).
Total luas wilayah Indonesia termasuk lautan yang harus dijaga seluas 1.919.440 km2. Wilayah seluas itu pun terbagi ke dalam 17.504 pulau besar maupun kecil yang tersebar sepanjang Nusantara (data Dep Kelautan). Tercatat di darat, Indonesia bersinggungan langsung sepanjang 2.830 km dengan tiga negara. Yaitu dengan Timor Leste sepanjang 228 km, Malaysia 1.782 km, dan Papua Nugini 820 km. Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu sepanjang 54.716 km.
Jika kita lihat sekilas nampak bahwa angka tersebut cukup besar. Bahkan sejumlah sumber menyebut, jumlah total personel tentara Indonesia menempati posisi ke 16 di dunia. Namun jumlah tentara haruslah disesuaikan dengan kebutuhan pengaman wilayah Indonesia. Jumlah ideal tentara pada suatu negara adalah 0,4% dari total jumlah penduduknya. Jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah sebanyak 220 juta kepala. Jika kita coba ambil kondisi ideal maka akan kita dapatkan angka 880.000 personel. Jumlah tersebut merupakan jumlah minimal untuk memberikan pengaman bagi wilayah dan warga negara Indonesia. Angka minimal tersebut sangat jauh dengan jumlah total tentara Indonesia, bahkan tidak sampai setengahnya. Padahal dephan sudah menggariskan TNI ke depan akan mampu memberikan pengamanan pada standar minimal.
Angka inilah yang menjadi dasar KSAD Jenderal TNI Djoko Santoso mengajukan wacana penambahan pasukan tersebut. Baginya, AD sebagai salah satu matra terbesar harus memiliki 800.000 personel agar dapat memenuhi kebutuhan ideal bangsa ini.
Hitung-hitungan di atas cukup menggambarkan bagaimana tingkat kebutuhan penambahan personel angkatan bersenjata Indonesia. Jika memang harus menambah jumlah personel, memang harus pintar dalam menyiasati minimnya anggaran yang dimiliki TNI. Dengan dana yang minim, TNI harus memberikan skala prioritas dalam pengembangan angkatan bersenjatanya.
Prioritas harus ditentukan berdasarkan potensi ancaman terhadap Indonesia. Potensi ancaman dari tiap negara akan berbeda-beda sehingga akan membuat perbedaan pada komposisi tentaranya dan besaran anggaran tiap angkatan.
Menegaskan Wibawa Bangsa
Angkatan bersenjata yang kuat tentunya akan menambah besar wibawa bangsanya. Konsep ini bukan dalam artian bahwa angkatan bersenjata tersebut akan dipakai untuk berperang. Namun dalam dunia global internasional yang anarki, mutlak hitung-hitungan kekuatan menjadi salah satu tolok ukur wibawa suatu bangsa. Negara dengan perekonomian yang kuat dan angkatan bersenjata yang berwibawa akan mendapatkan respek yang lebih dari negara lainnya.
Sudah dua kali kisah kita bersitegang dengan negara tetangga terkait sengketa perbatasan atau kepemilikian pulau dan dua kali pula kita dihinggapi ketidakyakinan dengan kekuatan bersenjata kita jika sewaktu-waktu terjadi perang.
Tak dapat dimungkiri bahwa diplomasi merupakan jalan terbaik menyelesaikan perselisihan-perselisihan internasional (international disputes). Namun tak dapat dikesampingkan juga peran angkatan perang yang bisa menjadi sarana bergaining dalam diplomasi.
Menurut Dephan RI saat ini ada 10 ancaman utama terhadap Indonesia, yaitu terorisme, gerakan separatis bersenjata, kelompok radikal, konflik komunal, kerusuhan sosial, perompakan dan pembajakan di laut, imigrasi ilegal, illegal fishing, illegal logging dan penyelundupan, dan gangguan terhadap pemerintahan daerah. Pertahanan yang akan dibentuk harus berdasar pada potensi ancaman yang ada saat ini.
Dari data tersebut nampak yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah sarana pengamanan dan pengintaian di sepanjang daerah Indonesia. Untuk ancaman perang pun ternyata tak masuk sebagai salah satu potensi ancaman bagi Indonesia. Asia Tenggara pun termasuk sebagai salah satu region yang tentram. Eskalasi ketegangan untuk Asia saat hanya terjadi di Asia Timur dan Asia Tengah.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara ternyata sepanjang sejarahnya tidak memiliki sejarah ancaman perang yang besar. Sejak revolusi kemerdekaan praktis ancaman perang hanya terjadi pada masa konfrontasi dengan Malaysia pada 1963-1965. Setelah masa itu hanya ada konflik-konflik kecil dengan negara tetangga yang bisa dikatakan memiliki potensi perang yang sangat rendah.
Minim Anggaran
RAPBN 2008 sedikit memberikan angin segar bagi Dephan dan TNI. Pemerintah menganggarkan Rp33,7 trilliun untuk TNI. Angka tersebut sedikit naik dibandingkan angka pada 2007 sebesar Rp31,5 trilliun.
Namun angka tersebut masih jauh dari cukup untuk militer Indonesia. Untuk Asia Tenggara pun anggaran sebesar itu masih sangat minim (lihat grafis). Saat ini anggaran militer Indonesia hanya sebesar 0,93% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut masih kurang standar untuk menciptakan kekuatan angkatan bersenjata minimal. Bahkan untuk mencapai kekuatan utama minimal diperlukan anggaran sebesar 5% dari PDB.
Anggaran Dephan itu pun saat ini lebih dari 50% terserap untuk keperluan di luar pengembangan sistem persenjataan. Dana tersebut hanya untuk kesejahteraan prajurit, bela negara, dan fasilitas militer. Alutsista (alat utama sistem pertahanan) sendiri hanya menikmati sisa dari pos-pos anggaran rutin tersebut.
Menyikapi anggaran yang sangat terbatas tersebut, sudah sepatutnya Indonesia mengoptimalkan anggaran untuk alutsista. Penambahan personel akan membuat anggaran yang minim di TNI semakin sesak. Selama ini anggaran yang diberikan dari Dephan tak pernah mencukupi. Inilah alasan di balik berbagai bisnis yang melibatkan militer. Rata-rata selama ini hanya 30% dari kebutuhan TNI yang terpenuhi oleh Dephan. Sisanya militer memenuhi biaya operasinya yang mahal dan usaha meningkatkan kesejahteraan anggotanya dengan berbagai sayap bisnis yang dimilikinya.
Penambahan personel tentu akan mengakibatkan makin membengkaknya anggaran yang tak mampu dipenuhi oleh APBN. Hal ini tentunya juga akan membuat TNI mau tak mau mencari sendiri dan akhirnya akan menghambat reformasi militer yang sedang digiatkan ini. Militer dikahawatirkan akan kembali ke ranah bisnis dan akhirnya jauh dari batasan militer profesional yang selama ini hanya menjadi mimpi di Indonesia namun sekarang sudah mulai menunjukkan titik cerah.
Minimnya alutsista yang ada memang sangat terkait dengan minimnya anggaran. Alustista yang dimiliki pun akhiranya masuk dalam kategori memprihatinkan. Hampir di semua lini mengalami kekurangan. Banyak juga alutsista yang sudah tua dan tak laik pakai lagi. Dapat kita lihat bagaimana terharunya mantan Kepala staf Angkatan Laut (KSAL) Indonesia Laksamana Bernard Kent Sondakh yang demikian terharu ketika menyaksikan kedatangan korvet KRI Diponegoro yang baru selesai dibangun di Belanda. Kedatangan korvet tercanggih itu mengurangi rasa haus angkatan laut yang selama ini hanya dibekali kapal dengan usai puluhan tahun dengan teknologi dan kemampuan yang sangat minim.
Namun jika angkatan bersenjata Indonesia tak ditopang dengan alutsista yang memadai tentunya akan seperti macan ompong saja, bisa mengaum tapi tak bisa menggigit. Banyak pesawat atau kapal yang tak memiliki persenjataan yang lengkap sehingga hanya mampu menggertak pihak yang mengganggu keamanan Indonesia. Bahkan ada anekdot yang mengatakan pilot Indonesia tak berani menembakkan rudalnya, bukan karena penakut atau tak pandai, melainkan karena Indonesia hanya memilki sedikit stok rudal.
Jumlah alutsista kita (lihat label) sangat kurang untuk menjaga kedaulatan negara kepulauan yang begitu luas ini. Berbagai kegiatan ilegal akhirnya marak terjadi terutama di daerah perbatasan yang sangat minim penjagaan. Bahkan sebagai negara maritim Indonesia sudah sangat jauh tertinggal dari Thailand yang bukan negara maritim. Thailand mempunyai sebuah kapal induk yang akhirnya menjadikannya sebagai angkatan laut terkuat di ASEAN.
Alutsista Dalam Negeri
Sebenarnya Indonesia memilki potensi besar untuk memproduksi sendiri alutsistanya (lihat tabel). Saat ini mayoritas alutsista Indonesia adalah hasil impor dari Amerika Serikat, Rusia, Belanda, Jerman, Prancis, Polandia, dan Ceko. Ada yang diimpor dalam keadaan baru namun kebanyakan dalam kondisi bekas rekondisi.
Padahal terdapat tiga industri senjata di negeri ini yang setidaknya bisa mengurangi ketergantungan terhadap pihak luar negeri. Namun komitmen pemerintah untuk meningkatkan industri strategis ini ternyata sangat kurang. Dari anggaran pertahanan yang dihabiskan tahun lalu ternyata pengembangan industri pertahanan nyaris tak dapat jatah. Padahal jika bicara potensi Indonesia ternyata cukup diakui. Bahkan berita yang cukup mengejutkan akhir-akhir ini adalah dipailitkannya PT. Dirgantara Indonesia (DI)
Sudah banyak pesawat CN-235 produksi PT DI yang dipakai di luar negeri dan diakui kehebatan dan kecanggihannya. PT PAL juga sudah mampu memproduksi berbagai kapal patroli. Bahkan saat ini sudah mampu memproduksi kapal cepat dengan panjang 57 meter dengan sepesifikasi cukup mumpuni.
Bagaimanapun juga sektor pertahanan merupakan sektor yang mahal. Namun pemerintah harus mampu melihat peluang yang ada dan berusaha mengembangkan potensi dalam negeri untuk memaksimalisasi kekuatan pertahanan dan menaikan derajad kita di mata dunia. (pangeran ahmad nurdin)
Diposting oleh pangeran di 13.24 0 komentar
Di ASEAN Kita Belum Jaya
Kebesaran Indonesia seringkali hanya menjadi rayuan lembut lagu merdu berjudul ‘nostalgia’. Bangsa ini, yang sebelum krisis ekonomi sempat dijuluki sebagai salah satu macan baru Asia, ternyata masih sibuk menggeliatkan badannya untuk berusaha mengejar ketertinggalannya. Kekuatan militer diharapkan sebagai formula agar bangsa Indonesia kembali menjadi bangsa terpandang yang dapat berjalan jumawa membusungkan dada bangga akan keberhasilannya. Namun ternyata di bagian ini Indonesia juga masih belum yang terbaik. Bahkan oleh negara sekecil Singapura pun kemampuan militer dan pasokan anggaran Indonesia tidak dapat bersanding bersama.
Untuk kawasan ASEAN memang angkatan bersenjata Indonesia tercatat sebagai yang terbesar. Indonesia memang tercatat memiliki 346.000 personel tentara yang tersebar di ketiga matra yang ada yaitu darat, laut, dan udara. Namun jika kita melihat pada anggaran yang diberikan terhadap militer kita temukan kenyataan yang miris bahwa anggaran kita kalah jauh dari Singapura maupun Malaysia, padahal jumlah tentara mereka lebih sedikit dibanding Indonesia.
Menguatkan Perbatasan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas. Di banyak titik kita bersinggungan langsung dengan negara tetangga maupun zona internasional. Dari sudut pandang pertahanan keamanan sangat jelas Indonesia sangatlah rentan terhadap gangguan. Posisinya yang strategis dalam jalur pelayaran dunia menambah beban berat pertahan keaman negara ini.
Lemahnya pegawasan daerah perbatasan dan daerah-daerah terpencil menyebabkan kerugian yang besar bagi Indonesia. Berbagai kegiatan ilegal dilakukan di sepanjang daerah perbatasan Indonesia. Mulai dari penebangan liar (illegal logging), penyelundupan barang (smuggling), penyelundupan manusia (trafficking) hingga penangkapan ilegal di laut.
Kerugian hutan Indonesia akibat praktik pembalakan liar diperkirakan mencapai USD5,7 miliar atau setara dengan Rp46,74 triliun per tahun. Angka tersebut tidak termasuk kerugian dari aspek ekologis yang berpotensi menimbulkan dampak bencana seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan. (bappenas)
Penambahan alutsista dan efisiensi serta penambahan pasukan sesuai porsinya diharapkan mampu menjaga keamanan daerah-daerah tersebut dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.(pangeran ahmad nurdin)
Diposting oleh pangeran di 13.19 0 komentar
Green Energy Source versus Bahaya Radiasi
Tingkatan risiko bahaya karena paparan radioaktif yang mungkin ditimbulkan oleh PLTN sebenarnya juga terjadi pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil (batubara, minyak maupun gas alam). Pembangkit-pembangkit tersebut juga menyebabkan berbagai polusi yang berbahaya bagi manusia. Namun yang terjadi di masyarakat adalah ketakutan dengan radiasi nuklir yang mungkin terjadi lebih besar daripada ketakutan akan efek global warming yang mungkin dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.
Sekalipun PLTN juga memproduksi CO2, namun hanya dalam skala kecil. Limbah CO2 yang dikeluarkan itu pun bukan dari proses pembakaran yang dilakukan oleh PLTN, melainkan dari hasil proses ujicoba berkala generator diesel yang disediakan sebagai sumber tenaga cadangan sewaktu-waktu terjadi kegagalan di reaktor. Jika limbah radioaktifnya dapat dikontrol sesuai prosedur daur ulang limbah nuklir praktis PLTN sangat ramah lingkungan. Pada kondisi ini dapat dikatakan polusi yang dihasilkan oleh PLTN rebih rendah dibanding pembangkit berbahan bakar fosil.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa tidak ada tanda-tanda kenaikan jumlah kematian karena kanker pada orang-orang yang tinggal di sekitar reaktor nuklir. Penelitian yang dilakukan oleh NCI (National Cancer Institute) pada 1991 menemukan bahwa tidak ada tanda peningkatan kematian akibat kanker pada penduduk yang tinggal di sekitar enam puluh dua pembangkit listrik yang ada di Amerika Serikat.
Namun bagaimanapun PLTN memang memiliki bahaya dampak radiasi yang sangat tinggi. Tragedi Chernobyl pada tahun 1986 adalah bukti nyata bahaya yang mengintai pada tiap reaktor nuklir jika tidak dioperasionalisasi secara semestinya.
Kurang Sosialisasi
Bagaimanapun penolakan yang muncul di masyarakat adalah yang wajar. Menilik sosialisasi yang telah dilakukan, nampak bahwa selama ini sangat kurang dan tidak melibatkan masyarakat dalam perencanaan.
Pemerintah terlalu percaya diri sehingga tidak melibatkan masyarakat dalam perencanaan proyek ini. Pembangunan PLTN yang rencananya didirikan di atas tanah milik pemerintah seharusnya tidak membuat pemerintah berbuat leluasa seperti itu.
Masyarakat juga seringkali hanya diberi informasi mengenai kelebihan PLTN. Sedangkan mengenai dampak bahaya yang mungkin akan ditimbulkan dari keberadaan PLTN seringkali dibahas sambil lalu saja, bahkan kadangkala ditutupi. Akhirnya, ketika masyarakat menerima sosialisasi dari berbagai pihak lain mengenai dampak yang mungkin timbul serta merta akan menimbulkan penolakan besar. Masyarakat akan merasa dibohongi, sehingga berbagai janji pemerintah akan keamanan PLTN menjadi tak berarti.
Diposting oleh pangeran di 13.16 0 komentar
Proyek PLTN: Perlu Penanganan Serius Pemerintah
Untuk menjamin keberlangsungan PLTN yang aman baik bagi manusia maupun alam peran serta masyarakat sangat diperlukan. Masyarakat harus menjalankan fungsinya dalam mengontrol pemerintah dan proyek-proyek yang dijalankannya. Terlebih lagi uang pajak dari masyarakat turut serta dalam proyek ini.
Fungsi kontrol ini dapat dilakukan dalam bentuk selalu mengawasi pelaksanaan proyek dan selalu menjadi mitra kritis dari pemerintah. Memang dalam pembangunan ini ada beberapa pihak yang diuntungkan secara langsung, khususnya investor dan PLN. Namun bagaimanapun proyek ini akan memberikan damapaik yang baik bagi masyarakat. Dan dilaksanankan untuk kepentingan masyarakat.
Mimpi akan listrik murah akan lebih mudah terwujud dengan efisiensi yang dijanjikan oleh PLTN. Tingkat inflasi yang biasanya mengikuti pergerakan TDL (Tarif Dasar Listrik) bisa dikurangi. Ketergantungan terhadadap bahan bakar fosil uga bisa kita kurangi, seperti pengalaman di Perancis yang delapan puluh persen kebutuhan listriknya disuplai PLTN, bahkan Perancis mampu mengekspor listrik ke berbagai negara tetangganya.
Namun, jangan sampai mimpi indah yang datang dari berbagai angka yang menjanjikan seputar pemanfaatan PLTN menjadi awal malapetaka bagi bangsa ini. Diperlukan keseriusan dan penanganan yang maksimal dari pemerintah untuk menjaga pelaksanaan proyek ini tetap berkesinambungan dan terus berada di jalur yang tepat. Kesalahan terkecil dalam proyek ini dapat berakibat pada bencana terbesar bagi bangsa ini. Jangan sampai berbagai kekhawatiran akan resiko bencana menutupi berbagai keberhasilan pemanfaatan moda energi yang satu ini.
Diposting oleh pangeran di 13.13 0 komentar
Carut Marut Seleksi Anggota KPU, Antara Idealisme dan Kebutuhan Mendesak
Heboh korupsi beberapa anggota KPU pascapemilu presiden pada 2004 mendapat sorotan besar dari media. Peristiwa yang menyebabkan beberapa anggotanya harus rela mengisi hidupnya di balik bui ini nampaknya masih belum cukup membuat coreng-moreng wajah lembaga pelaksana pemilu ini.
Seleksi anggota KPU yang baru-baru ini dirampungkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ternyata meloloskan calon anggota yang terlibat kasus dugaan korupsi. Luka lama yang ditinggalkan beberapa anggota KPU pada periode sebelumnya sebenarnya sudah cukup membuat KPU harus memanggul begitu besar beban berat di pundaknya.
Kasus korupsi yang terjadi membuat keberhasilan KPU dalam menyelenggarakan pemilu demokratis terbesar di dunia bak menguap. Keberhasilan tersebut menjadi tak ada artinya ketika berbagai carut-marut kesalahan tersebut diangkat. Proses seleksi anggota KPU ini sudah menerima cercaan dan keragu-raguan dari berbagai kalangan jauh sebelum hasil calon mengerucut menjadi 21 orang.
Hingga DPR memilih tujuh anggota KPU, cercaan masih terjadi karena memunculkan nama yang terkait kasus korupsi. Awal keraguan muncul ketika beberapa calon yang dari rekam jejaknya dinilai sangat baik dan memuaskan ternyata rontok di tengah jalan seleksi. Kebanyakan dari para calon terkenal tersebut terganjal di tes psikologi. Dari 270 pendaftar yang lolos persyaratan administrasi, hanya 45 orang yang lolos tes psikologi dan maju ke tahapan selanjutnya.
Beberapa tokoh yang rontok pada tes psikologi,di antaranya Hadar Navis Gumay (CETRO), Indra J Pilliang (CSIS), Sekjen Depdagri Progo Nurjaman, mantan anggota Komnas HAM Bambang W Soeharto,mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Didik Supriyanto.Bahkan, Ramlan Surbakti dan Valina Singka, anggota KPU aktif juga tidak lolos.
Semuanya terjegal dalam tes psikologi yang terdiri atas tes inteligensia, tes kesetiaan, tes leadership,dan tes kejiwaan. Tidak terbukanya panitia seleksi dalam menjelaskan parameter penilaian disesalkan banyak pihak yang penasaran dengan hasil tersebut.
Banyak Calon Bermasalah
Persyaratan bahwa anggota KPU yang tidak boleh terkait partai tertentu ternyata terlangkahi dengan lolosnya beberapa anggota partai dalam beberapa tahapan seleksi. Hal tersebut membuktikan kekurangcermatan dalam proses seleksi KPU. Contohnya adalah Entin Nurhaetin Ningrum, calon anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di daerah pemilihan Jawa Barat IX,lolos hingga 45 besar.
Nama Theofilus Waimuri bahkan sempat mampir di daftar calon anggota KPU yang akan dinilai DPR sekalipun setelah itu didiskualifikasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa panitia seleksi KPU tidak melaksanakan pengecekan ulang berkas dengan kondisi di lapangan. Namun,sebenarnya panitia seleksi tak bisa disalahkan 100%.Waktu yang diberikan untuk melakukan penelitian administrasi bakal calon anggota,sesuai amanat UU No 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu,hanya lima hari kerja.
Partisipasi dari masyarakat juga terhitung kurang karena hasil penelitian administrasi yang sudah diumumkan panitia seleksi tak mendapat feedback yang cukup. KPU adalah organ vital dalam penegakan pilar demokrasi Indonesia. Pengadaan pemilu yang demokratis ada di tangan lembaga ini.Pemilu demokratis tentu bisa saja menjadi buyar jika KPU terus direpotkan dengan berbagai masalah yang sebenarnya tidak berhubungan dengan bidang kerjanya.
Adanya masalah dalam tubuh KPU akan mengganggu kinerja komisi yang harus selalu independen ini. Independensi tidak selalu hanya bebas dari afiliasi politik dengan partai tertentu, melainkan independensi juga dapat diartikan bebas dari masalah. Jadi, dalam tiap tindakannya, KPU maupun anggotanya tidak harus memusingkan urusan dengan pihak-pihak lain.
Lolosnya Syamsul Bahri, yang terkait kasus korupsi pabrik gula di Malang, Jawa Timur, memang patut dipertanyakan. Kelolosan tersebut menjadi kesalahan jika kita tinjau dari perspektif ingin membentuk KPU yang kuat dan bebas dari masalah.Kesalahan ini tentu dapat kita simpulkan sebagai kesalahan yang wajib diperbaiki.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah sebenarnya tidak perlu repot-repot mengadakan seleksi ulang karena daftar yang diberikan DPR berbentuk urutan nilai calon. Dengan demikian, misalkan pelolosan Syamsul Bahri dianulir, maka penggantinya dapat diambil dari calon nomor urut kedelapan berdasarkan hasil penilaian DPR.
Maksimalisasi Calon yang Ada
Wacana seleksi ulang anggota KPU mungkin terdengar cukup baik untuk meluruskan kembali berbagai kekurangan yang telah dilakukan dalam seleksi.Berbagai kekurangan, terutama dalam psikotes yang dianggap kurang jelas parameternya, membuat beberapa calon merasa dirugikan. Namun, hal tersebut menjadi tidak memungkinkan jika kita sadar akan realita pemilu legislatif yang akan digelar pada April 2009 dan akan dilanjutkan pemilu presiden.
Keduanya memerlukan kesiapan dan fokus yang tinggi dari para anggota KPU terpilih. Tentunya para anggota KPU harus melakukan penyesuaian terlebih dahulu dalam jabatan barunya tersebut dan itu memerlukan waktu. Praktis, terhitung dari Oktober 2007 hingga April 2009 anggota KPU hanya memiliki sekitar 18 bulan untuk membiasakan diri dengan mekanisme kerja di KPU dan menyiapkan gelaran pesta demokrasi lima tahunan Indonesia.
Belum lagi, jika kita kaitkan dengan waktu yang diperlukan untuk membentuk Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang harus menunggu KPU Pusat siap dan akhirnya bisa membentuk KPUD-KPUD provinsi maupun kabupaten/kota. Akhirnya maksimalisasi calon yang ada menjadi pilihan realistis bagi pemerintah. Tentunya, kita semua tak ingin permasalahan ini akhirnya menghambat kesiapan pelaksanaan Pemilu 2009, apalagi jika sampai permasalahan ini membuat gelaran akbar tersebut ditunda.
Toh, dari tujuh anggota KPU terpilih tersebut, hanya satu yang bermasalah. Secara umum, keenam calon yang lainnya memiliki rekam jejak yang cukup baik. Dua di antaranya juga pernah berkiprah di KPUD Bali dan Kalimantan Selatan. Selain itu, dua calon lainnya pernah menjadi pengawas serta pemantau pemilu di daerah ya masing-masing.
Sekarang semuanya kembali lagi kepada kita untuk menyikapi permasalahan ini. Jika kita terus mempermasalahkan seleksi KPU yang memang kurang transparan sehingga mengecewakan banyak pihak,proses persiapan pemilu kita akan tersendat-sendat. Seleksi ulang pun tidak menjamin calon yang terpilih akan lebih baik, sekalipun harapan ke arah itu tetap ada. (pangeran ahmad nurdin/ litbang SINDO)
Diposting oleh pangeran di 12.12 0 komentar
Lembaga-Lembaga Negara Perlu Integritas
Dia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap pada proses pembelian tanah untuk gedung KY. Lembaga tinggi yang berfungsi sebagai pengawas proses peradilan di tanah air ini seakan kehilangan muka di mata publik. Uang suap sebesar Rp600 juta dan USD30.000 ini membuat lembaga ini menanggung malu.
Ketua KY Busyro Muqoddas mengaku terkejut dengan kejadian itu dan menganggapnya sebagai musibah. Namun, sikap seperti itu nampaknya sudah sulit untuk dicerna oleh masyarakat. Belum kering tinta pena para jurnalis memberitakan kasus heboh tersebut, keputusan DPR meloloskan dua orang yang dianggap bermasalah menjadi anggota KPU kembali disorot.
Kepercayaan masyarakat menipis, ketika melihat komisi penyelenggara pemilu tersebut diisi orang-orang yang sedang bersentuhan dengan kasus hukum. Padahal, kepercayaan masyarakat merupakan modal dasar lembaga-lembaga tersebut. KY, KPK, KPU, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komnas HAM perlu menegaskan integritas mereka dalam bentuk perbaikan kinerja.
Mereka tak bisa berlindung di balik alasan jitu yang selama ini selalu menjadi tameng bagi berbagai pimpinan lembaga yaitu ”oknum”. Masyarakat sudah muak dengan kata ”oknum” tersebut yang seakan melepaskan tanggung jawab pimpinan dan lembaga atas tindakan anak buahnya. Paradoks juga seakan terjadi karena ketika buah manis keberhasilan dikecap sertamerta diakui sebagai keberhasilan kolektif organisasi, bahkan kadang kala sebagai keberhasilan individu sang pimpinan.
Lembaga Baru
Sebuah lembaga baru sekarang dalam proses pembentukan dan seleksi. Lembaga dengan fungsi pokok memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban suatu kasus ini bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Saat ini, proses baru masuk tahap penjaringan calon anggota.
Lembaga ini hadir untuk menjawab kebutuhan perlindungan saksi dan korban dari suatu perkara yang kerap mengkhawatirkan di Indonesia. Panitia seleksi LPSK ini diketuai Dirjen HAM Depkumham Harkristuti Harkrisnowo. Panitia ini beranggotakan empat orang, yakni Teten Masduki,Abdul Wahid Masru (Dirjen Peraturan perundang- undangan Depkumham), Serena Kalibonso (aktivis dari Mitra Perempuan ), dan Indriyanto Seno Adji (praktisi hukum).
Dari hasil pendaftaran calon anggota pada 17–28 September 2007,tercatat 188 calon yang melamar. Dari jumlah pendaftar tersebut, akhirnya akan dikerucutkan menjadi 21 (seleksi administratif, tes kepribadian, dan wawancara terbuka) dan diserahkan pada presiden. Seleksi terakhir ada di tangan DPR untuk memilih tujuh pimpinan LPSK.
Sangat diharapkan proses seleksi lembaga ini akan lebih baik dan transparan dari yang dilaksanakan dalam seleksi KPU. Kita harus menjadikan kesalahan yang sudah terjadi sebagai bahan refleksi agar tak jatuh ke lubang yang sama. Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali.Tentunya kita sebagai bangsa Indonesia yang berbudaya tinggi tak mungkin seperti itu. (pangeran ahmad nurdin /litbang SINDO)
Diposting oleh pangeran di 12.11 0 komentar
Janji Efisiensi PLTN di Indonesia: Berisiko Tinggi,Ramah Lingkungan
Isu pembangunan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Semenanjung Muria, tepatnya di Lemah Abang, Jepara, Jawa Tengah kembali mencuat. Berbagai ketakutan menyeruak di masyarakat akan dampak bencana yang mungkin timbul terkait radiasi yang dihasilkan oleh PLTN.
Berkali-kali warga Jepara dan daerah-daerah sekitarnya melakukan aksi unjuk rasa hingga longmarch sebagai bentuk boikot terhadap rencana pembangunan PLTN yang akan mulai beroperasi pada 2015 tersebut. Bahkan label ‘haram’ dijatuhkan oleh PCNU (Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama) Jepara, sekalipun label tersebut tidak mutlak dengan syarat proyek PLTN dipindahkan ke tempat lain. Kesemuanya didasari pandangan bahwa pembangunan PLTN akan membawa lebih banyak dampak buruk dibanding yang baik.
Kekhawatiran juga muncul dari para pemerhati lingkungan hidup. Bayangan bencana yang mungkin timbul oleh radiasi nuklir sangat mengganggu masyarakat. Nuklir juga dianggap bukan satu-satunya jalan,sekalipun sangat ekonomis. Bahkan beberapa anggota DPR, DPD, maupun DPRD yang menyuarakan keberatannya atas pembangunan PLTN ini Dampak dahsyat yang menghantui tersebut ditingkahi pula dengan ketidakpercayaan terhadap kinerja pemerintah yang dianggap belum mampu menangani proyek dengan risiko sangat tinggi. Patologi birokrasi dan kultur yang buruk dalam pelaksanaan berbagai proyek yang sudah-sudah menebalkan rasa pesimisme masyarakat. Namun, pihak yang pro bersikeras bahwa kelanjutan proyek PLTN bisa menjadi jawaban akan krisis energi listrik.Indonesia diharapkan mampu terlepas dari ketergantungan terhadap minyak bumi yang membuat APBN makin sesak.
Krisis Energi Listrik
Krisis energi listrik di Indonesia telah mencapai tahap kritis. Banyak daerah mengalami pemadaman bergilir. Bahkan tercatat dari lima belas daerah pelayanan listrik PLN, tercatat hampir semua pernah mengalami terjadi defisit energi listrik yang berujung pemadaman bergilir pada 2006. Hanya empat daerah yang tidak melakukan pemadaman,itupun beberapa kali pada posisi siaga. Ketidakmampuan PLN untuk menyuplai listrik tersebut seringkali ditingkahi pula dengan permasalahan distribusi bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM yang terus meroket membuat PLN seringkali meminta kenaikan tarif dasar listrik (TDL) kepada pemerintah yang berujung inflasi dan beban penderitaan masyarakat yang bertambah.
PLTN hadir sebagai jawaban atas permasalahan listrik yang dihadapi Indonesia. Proyek yang sempat terkatung-katung karena masalah pendanaan ini memberi angin segar harapan listrik murah di Indonesia. Namun sekaligus membawa bayang-bayang monster menakutkan yang tak dapat dicerna masyarakat.
Efisien dan Murah
Sebagai sumber energi, pemanfaatan Nuklir bukan hal baru. Sejak percobaan terhadap Uranium pertama kali dilakukan Enrico Fermi di tahun 1934, pengembangan nuklir sebagai sumber energi terus berkembang. Akhirnya tonggak sejarah PLTN berdiri pada 20 Desember 1951 di Arco,Idaho,Amerika Serikat.Kemudian pada 9 Mei 1954 di Obninsk,Rusia, ditegaskan peran nuklir sebagai sumber energi. Saat itu merupakan sukses pertama kali PLTN mampu memasok kebutuhan listrik, sebesar lima MW (megawatt). Krisis energi dunia menimbulkan kekahawatiran yang besar bagi semua pihak. Bahan bakar fosil yang diperkirakan pada abad ke-22 akan habis membuat manusia berlomba mencari sumber energi alternatif.
Nuklir menjadi salah satu jawaban bagi problem kelangkaan yng akan terjadi ke depan. Efisiensi biaya yang mungkin dihasilkan oleh nuklir membuat jenis energi ini menjadi primadona calon pengganti bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Nuklir sendiri memiliki begitu banyak manfaat. Selain untuk pembangkit listrik, nuklir juga dimanfaatkan untuk keperluan kesehatan seperti mamografi, pangan maupun sebagai bahan bakar kapal selam yang sanggup berlayar berbulanbulan tanpa melakukan pengisian bahan bakar. Pemanfaatannya dapat dikatakan sukses membantu berbagai sendi kehidupan manusia. Terbukti bahwa pemanfaatannya tersebut tak memberikan dampak buruk melebihi sumber energi lainnya.
Bahkan tragedi kapal selam berbahan nuklir milik Rusia, Kursk, pada 12 Agustus 2000 yang tenggelam di Laut Barents tidak menimbulkan dampak yang terlalu berbahaya bagi lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat keamanan yang tinggi dapat mencegah potensi bahaya yang dimiliki oleh nuklir. Berbagai penelitian menyajikan hasil yang beragam mengenai efisiensi PLTN, namun hampir kesemuanya mencapai kesepakatan bulat bahwa PLTN lebih efisien dibandingkan dengan segala jenis pembangkit listrik lainnya. Sekalipun biaya pembangunan awalnya (set up cost) sangat tinggi,karena memerlukan teknologi dan tingkat keamanan yang mumpuni, na-mun biaya bahan bakar yang dikeluarkan sangat rendah.
Terlebih energi nuklir sangat efisien dari segi biaya dan tidak terlalu tergantung dengan bahan bakar fosil yang mulai langka. Penelitian yang dilakukan oleh NEA (Nuclear Energy Agency) yang memproyeksikan perkiraan harga memproduksi listrik pada 12 negara yang telah menggunakan PLTN dan dibandingkan dengan batubara dan gas alam ternyata hampir di semua tempat PLTN diperkirakan lebih mampu menyediakan listrik murah (lihat grafis). Dari hasil penelitian tersebut jelas PLTN lebih efisien dibanding pembangkit listrik tipe lainnya. Hampir di semua negara yang diteliti, listrik yang dihasilkan oleh PLTN lebih murah daripada yang dihasilkan melalui batubara maupun gas.Hanya di beberapa negara saja berlaku kebalikannya.
Itupun hanya untuk negara yang mampu mendapatkan batubara dan gas alam yang sangat murah. PLTN juga tak terlalu tergantung pada bahan bakar. Berdasarkan data yang dirilis oleh Lappeenranta University of Technology,Finlandia pada 2003 bahwa biaya bahan bakar pada pembangkit listrik berbahan bakar batubara hampir lima kali lipat biaya bahan bakar pada PLTN. Bahkan pada pembangkit listrik berbahan bakar gas alam biayanya 8,5 kali lipat dibanding PLTN. Satu kilogram uranium setara dengan 1.000-3.000 ton batubara (BATAN). Jadi, sekalipun harga Uranium seringkali naik drastis, namun tidak akan mempengaruhi besaran harga listrik per KWH (Kilowatt Hour) yang dihasilkan oleh PLTN.
Salah satu penelitian dari American Energy Independence mengandaikan jika harga Uranium naik dua kali lipat maka akan membuat biaya bahan bakar pada reaktor tipe Air Tekan Ringan (Light Water Reactor) akan naik sebesar 26% dan biaya produksi listrik secara keseluruhan naik 7%.Bandingkan dengan reaktor berbahan bakar gas alam.Jika harganya naik dua kali lipat maka biaya produksinya akan naik 70%. Angka ini cukup mencengangkan. Karena dengan harga bahan yang sama-sama naik dua kali lipat hasilnya reaktor dengan gas alam naik kurang lebih sepuluh kali lipat dari reaktor nuklir. Grafik yang dirilis oleh World Nuclear Association di atas ini juga menggambarkan bahwa nuklir relatif tidak terpengaruh oleh perubahan harga.
Dapat kita lihat oil boom yang terjadi pada awal tahun 80-an menyebabkan biaya listrik reaktor berbahan bakar gas alam dan minyak sangat mahal dibanding rektor nuklir. Bahkan berdasarkan data yang dirilis oleh World Nuclear Association pada 2006 diperkirakan bumi memiliki cadangan uranium hingga lima milliar tahun ke depan pada tingkat konsumsi saat ini. Ini jelas bisa menjadi alternatif dibanding bahan bakar fosil yang dikhawatirkan pada abad ke-22 akan sangat langka dan mahal.
Risiko Tinggi, Tingkat Keamanan Tinggi
Bayangan kecelakaan dan dampak penyebaran radiasi yang bisa mengganggu baik manusia maupun alam membuat energi nuklir ditakuti. Gerakan anti nuklir (anti nuclear movement) tumbuh bak cendawan di berbagai belahan bumi.Terlebih beberapa kecelakaan yang diblow up media memberikan informasi yang tidak lengkap sehingga menimbulkan rasa takut pada masyarakat. Padahal sebenarnya dapat dikatakan PLTN merupakan pembangkit dengan tingkat keamanan paling tinggi dibanding pembangkit listrik lainnya dan memiliki rekam jejak kecelakaan yang cukup baik.
Tragedi Chernobyl pada 1986 pun murni faktor kesalahan manusia yang tidak menaati prosedur. Hal yang sama berlaku pada tragedi Three Mile Island pada 28 Maret 1979, yang dilahap mentahmentah oleh media dan kaum lingkungan sebagai bahaya keberadaan pemanfaatan energi nuklir di muka bumi. (pangeran ahmad nurdin/ Litbang SINDO)
Diposting oleh pangeran di 11.43 0 komentar
Kamis, 25 Oktober 2007
Hanya sekedar mengecap dan berusaha untuk mengurai
Mengecap dunia, mengurai makna.
Namanya terkesan sok berwibawa, padahal ini bukan bermaksud untuk menggurui kawan semua yang membacanya dalam menguraikan makna kehidupan. Bahkan sebaliknya, blog ini menggambarkan keterbatasan kemapuan dan pemahaman gw.
Mengecap dunia, ini merupakan pernyataan jujur tentang pengetahuan gw yang masih dangkal dan saat ini masih dalam tahap menegcap. Layaknya seorang bayi yang baru lahir yang memasukkan segala hal ke dalam mulutnya untuk menambah pengetahuannya, begitupun gw. Gw masih perlu banyak masukan mengenai dunia ini. Mungkin kawan semua bisa membantu.
Mengurai makna, ini merupakan niat gw dalam mengetahui segala sesuatu tentang dunia ini. Semua hal dalam dunia ini bermakna, entah baik atau buruk, semua pasti ada manfaatnya.
Mari kita berdialog, mengecap dunia ini dan mengurai berbagai macam makna baik yang tersembul atau tersembunyi di baliknya.
Diposting oleh pangeran di 12.12 8 komentar