Orang sering mengeluhkan bahwa Jakarta, atau mungkin kota-besar lainnya, memiliki permasalahan mendasar dalam teknik tata kotanya. Sudut pandang tersebut ada benarnya namun masalah tak seringkas itu untuk disimpulkan.
Permasalahan transportasi kota juga merupakan masalah politik, tidak melulu masalah teknik atau tata perencanaan kota (planologi). Yang dimaksud dengan politis disini adalah pilihan mana yang akan diuntungkan oleh kebijakan transportasi kota yang dihasilkan. Hal tersebut menjadi sangat politis karena jelas-jelas menujukkan arah keberpihakan pemerintah.
Dalam transportasi kota ada dua kutub besar yang saling memerlukan perhatian. Keduanya yaitu kaum berpunya yang memiliki mobil pribadi yang jumlahnya hanya 17% dari penduduk sedangkan 83% lainnya warga Jakarta yang merupakan mayoritas adalah pengguna angkutan umum. Dari grafis 3 dapat kita lihat bahwa memang kendaraan pribadi mayoritas menjadi moda transportasi utama kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi. Bahkan begitu banyak lahan potensial di Jakarta habis hanya untuk menjadi lahan parkir saja.
Dari sekian banyak jumlah perjalanan per hari yang dilakukan oleh penduduk Jabodetabek hanya 10% yang menggunakan mobil pribadi dan 13% yang menggunakan sepeda motor, sisanya menggunakan sarana transportasi massal (lihat tabel 2).
Kebijakan transportasi harus dirumuskan untuk pro terhadap rakyat. Artinya, kebijakan yang diambil harus memperhatikan kebutuhan mayoritas masyarakat yang masih menggantungkan sarana transportasinya pada sarana transportasi massal. Pemerintah harus terus menggenjot perkembangan tumpuan masyarakat ini. Perhatian yang diberikan terhadap sarana transportasi massal harus lebih besar dibanding yang diberikan terhadap kendaraan pribadi.
Masyarakat Berkorban
Mau tak mau untuk mencapai berbagai keuntungan yang ditawarkan oleh sistem transportasi masal masyarakat harus mau berkorban. Pekerjaan konstruksi sarana dan prasarana tersebut memang akan memakan biaya yang tidk sedikit. Masyarakat juga harus rela dengan efek lainnya yaitu kemacetan yang ditimbulkan selama proses konstruksi.
Kaum yang lebih beruntung yang dapat mengakses kendaraan pribadi pun harus mau mengalah untuk sebagian besar warga kota ini. Satu jalur yang diambil busway untuk mayoritas warga Jabodetabek tak akan berarti apa-apa dibandingkan dua bahkan tiga jalur untuk kendaraan pribadi. Pajak kepemilikan kendaraan yang dibayarkan para pemilik kendaraan pribadi bukanlah suatu alasan pembenaran mereka dapat menguasai jalan raya atau bahkan merasa berhak untuk menyerobot jalur busway. Jalan raya adalah milik semua warga Jakarta dan semua memilki hak sama untuk mengaksesnya. Bagaimanapun tak ada kata terlambat untuk suatu perbaikan. Mari wujudkan Jakarta yang nyaman bagi semuanya.(pangeran ahmad nurdin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar