Macet panjang mengular sudah menjadi menu sehari-hari warga Jakarta. Klakson bersahut-sahutan menandakan pengemudi yang sudah merasa penat karena terjebak macet. Polusi pun menyergap ke paru-paru setiap warga. Tak ayal lagi jika Jakarta bertengger di peringkat tiga kota terpolusi di dunia setelah Mexico City dan Panama menurut United Nation Environment Programme (UNEP).
Di tempat lain penumpang berjubelan di dalam kereta dan bus kota. Beberapa bahkan rela mengadu nyawa tidak memperdulikan keselamatan dengan bergelantungan di pintu bus maupun kereta. Bahkan ada juga pengguna jasa kereta yang naik ke atap kereta seolah tak takut menghadapi maut yang bisa menghampiri.
Kondisi tersebut merupakan potret ringkas kesemrawutan transportasi kota Jakarta. Menu yang mau tak mau harus diterima warga sekalipun dengan hati mendongkol. Kota sejuta impian yang mulai tergopoh-gopoh menanggung beban derasnya urbanisasi dan kaum komuter yang memenuhi kota di jam sibuk. Pemerintah Kota (Pemkot) DKI Jakarta pun bak tak sanggup lagi mengatasinya.
Jakarta saat ini sudah menjadi megapolitan yang terkoneksi saling menopang dengan wilayah sekitarnya. Konsep ini biasa dikenal dengan nama Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Tak pelak berbagai masalah muncul karena ketidakmampuan kota untuk menyamai laju pertumbuhannya. Kondisi transportasi sudah begitu ruwet karena jalan tak mungkin lagi diperluas namun kendaraan terus bertambah. Sarana transportasi umum pun masih kurang mampu menanggulangi derasnya perkembangan sang ibukota.
Beberapa kota terkenal di dunia memiliki problem kemacetan yang sama peliknya dengan Jakarta. Bahkan New York di Amerika Serikat sangat terkenal dengan jalannya yang selalu macet. Namun kondisi tersebut terus membaik seiring keinginan pemerintah kotanya untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Kemacetan di kota besar bukannya tak bisa ditanggulangi. Semua kembali kepada political will dari pemerintah untuk memperbaikinya. Sudah terbukti di beberapa negara kemacetan yang nampak tak mungkin ditanggulangi, ternyata selesai dengan perencanaan sistem transportasi massal yang mumpuni.
Sebut saja Jepang dan Prancis yang begitu terkenal dengan sistem kereta apinya. Contoh lain yaitu negara berkembang seperti Sao Paulo di Brasil dan Bogota di Kolombia yang kemampuan sistem bus rapid transit-nya (BRT) dapat dibanggakan. Kesemua sistem tersebut dapat dengan nyata mengurangi pemakaian kendaraan pribadi. Pengalihan ke sarana transportasi massal tersebut menciptakan kota yang lebih nyaman dan lebih efisien dalam pemakaian energi.
Jakarta Surga Kendaraan Pribadi
Tak salah jika kita anggap Jakarta sebagai surga bagi kendaraan pribadi, terutama mobil. Jika diperhatikan, nampak begitu banyak sarana transportasi disiapkan untuk pengguna kendaraan yang dari segi jumlah hanyalah minoritas di Jakarta.
Kondisi tersebut akhirnya membuat warga makin terpacu untuk membeli mobil dan sepeda motor. Ini bagaikan bom waktu bagi Jakarta. Selama ini rata-rata pertumbuhan jalan di Jakarta tak mampu mengimbangi pertumbuhan jalan raya. Bahkan berdasarkan hasil survey Japan International Corporation Agency (JICA) lalu lintas Jakarta akan mati pada 2014 jika tak dilakukan perbaikan sistem transportasi.
Dari 2001-2005 saja jumlah kendaraan di Jakarta naik sebesar 103,9%. Kalau kita lihat dari jenisnya, penambahan terbesar ada pada kendaraan pribadi yaitu sepeda motor (156%) dan mobil penumpang (56%). Bandingkan dengan bus yang hanya bertambah sebanyak 24,7%. Bahkan dari 2003-2005 pertambahannya hanya sebanyak 850 saja (lihat tabel 5).
Tabel tersebut memberikan gambaran yang jelas kepada kita mengenai tren transportasi kota ini yang sangat condong ke pemakaian kendaraan pribadi. Sarana trasportasi massal yang nyata-nyata menjadi tulang punggung transportasi para komuter kota Jakarta ternyata dianaktirikan (lihat tabel 2 dan 3).
Kalau kita tengok di negara yang sudah cukup maju dalam pelayanan publiknya maka angkutan umumlah yang akan mendapatkan prioritas. Bahkan berbagai peraturan dibuat agar warga beralih ke sarana transportasi umum. Dapat kita tengok misalnya di Jepang yang menerapkan tarif parkir yang sangat tinggi di pusat kota. Selain itu disana juga diterapkan road pricing dan congestion charge bagi kendaraan pribadi. Maksud dari peraturan tersebut adalah kendaraan yang masuk pusat kota akan dikenakan biaya masuk, sehingga akan mengurangi minat warga untuk memanfaatkan kendaraan pribadi dan akhirnya beralih ke transportasi massa.
Kemacetan menimbulkan begitu banyak kerugian bagi masyarakat. Mulai dari masalah ekonomi, sosial dan kesehatan. Berbagai zat berbahaya terpapar ke udara dari hasil pembakaran bahan bakar kendaraan (lihat tabel 6).
Saat ini kerugian ekonomi tiap tahun yang disebabkan oleh kemacetan lalu lintas di Jabodetabek mencapai Rp3 triliun untuk biaya operasi kendaraan dan Rp2,5 triliun untuk waktu perjalanan (Study on Integrated Transportation Master Plan/SITRAMP 2004). Berbagai penyakit pernapasan juga mulai menjadi masalah banyak warga ibu kota. Bahkan menurut data penelitian lanjutan dari SITRAMP dampak kerugian kesehatan di Jabodetabek pada 2002 akibat paparan PM10 (kumpulan partikel berbahaya yang lebih kecil dari 10 milimeter) sebesar Rp2,815 Trilliun. Angka ini datang dari biaya kesehatan dan kerugian fisik yang diakibatkan paparan polusi tersebut.
Perekonomian juga terpukul telak. Kemacetan membuat ongkos transportasi melonjak yang akhirnya membuat harga menjadi tidak ekonomis lagi. Akses yang buruk ke pelabuhan juga membuat banyak pengapalan barang tertunda sehingga merugikan para pelaku ekonomi.
Busway Langkah Awal Reformasi Transportasi Kota
Sarana bus rapid transit (BRT) yang biasa kita kenal dengan nama busway Transjakarta menjadi salah satu solusi alternatif untuk merapikan benang kusut transportasi kota Jakarta. Busway saat ini menjadi sarana transportasi publik yang paling diminati warga Jakarta.
Meskipun pada awal kemunculannya mendapat banyak tentangan karena dianggap sebagai pemborosan dan akan mengganggu pengguna jalan lainnya, namun keberhasilannya menepis keraguan banyak pihak. Sistem transportasi massal yang mahal ini ternyata jelas menjadi salah satu solusi keruwetan kota. Moda inipun dipilih karena paling murah dibanding moda lainnya dengan kapasitas angkut yang cukup besar.
Biaya pembangunan busway rata-rata USD2-5 juta perkilometer. Angka tersebut jauh lebih murah dibandingkan monorel yang membutuhkan biaya pembangunan USD10-25 juta perkilometer atau jika dibandingkan dengan subway atau mass rapid transit (MRT) yang mencapai USD50-100 juta perkilometer.
Pada 2006, busway sukses mengangkut rata-rata 38.828.039 penumpang yang berarti sebanyak 120.000 penumpang perhari. Angka ini hanya mampu disaingi oleh sarana kereta api Jabotabek yang mampu mengangkut 110.960.700 penumpang (2005). Bahkan sampai Juli ini busway telah mengangkut 27.140.688 penumpang yang berarti 200.000 penumpang per hari.
Angka tersebut mulai mendekati kinerja KRL, angkutan utama warga Jabodetabek. Memang hingga saat ini KRL tetap menjadi sarana transportasi publik yang paling berpengaruh di Jakarta. Namun, buruknya pelayanan, jadwal tak teratur, dan ketidaknyamanan masih menjadi pekerjaan rumah PT Kereta Api (KA). Walaupun PT KA sudah mengoperasikan KRL Ekspres dan Semi Ekspres yang lebih nyaman dan cepat, namun pelayanannya masih menyedihkan.
Pencapaian baik busway dalam mengurangi permasalahan transportasi kota diharapkan dapat menstimulus kesadaran warga akan pentingnya sarana transportasi masal untuk mengatasi keruwetan kota. Keberhasilan yang dicapai juga diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi berbagai kota besar lainnya di Indonesia untuk menerapkan konsep transportasi masal yang matang.
Butuh Transportasi Intermoda
Surat Keputusan (SK) Gubernur No 84 tahun 2004 tentang Pola Transportasi Makro di Jakarta merupakan langkah tepat pemerintah. Pola ini akan menggabungkan berbagi model transportasi dalam satu sistem. Jika, pola ini bisa terlaksana, prediksi yang mengatakan pada 2014 lalu lintas Jakarta akan mati, akan termentahkan.
Kita juga bisa mengharapkan langit biru di kembali menghiasi Jakarta dengan berkurangnya polusi yang dihasilkan kendaraan bermotor. Dengan penggunaan sarana transportasi massal, polusi dapat direduksi sangat signifikan. Hal ini karena kendaran pribadi yaitu sepeda motor dan mobil menjadi penyumbang utama polusi udara di Jakarta dibanding moda transportasi lainnya. Keduanya menghasilkan 317.007 ton Karbondioksida (CO2) per tahun (120.002 oleh motor dan 197.005 oleh mobil). Bandingkan dengan total polusi yang dihasilkan bus sedang (68.249) dan bus besar (12.105) to CO2 per tahunnya. (lihat tabel 6)
Penggabungan sistem BRT, MRT, Light Rapid Transit (LRT), subway, dan transportasi air akan menciptakan kondisi hidup yang menyenangkan bagi seluruh warga Jabodetabek. Jangan sampai kemajuan yang telah dicapai melalui pengembangan busway dan pencanangan pelaksanaan SK tersebut menjadi kontraproduktif oleh penanganan yang asal-asalan dan sikap aji mumpung yang sering menghinggapi birokrasi kita. (pangeran ahmad nurdin)
Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi 1 Oktober 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar