Jumat, 26 Oktober 2007

Wacana Penambahan Personel TNI: Minim Anggaran, Utamakan Alutsista

Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Djoko Santoso baru-baru mengeluarkan pernyataan yang membuat banyak orang terheran-heran. Wacana yang digulirkan mengenai keinginannya menambah 350.000 personel AD secara berkala hingga 2024 menciptakan segumpal pertanyaan di benak banyak orang. Tak ayal keraguan mengenai urgensi penambahan sekian besar pasukan menjadi pertanyaan utama.

Tak terkecuali para wakil rakyat, menteri pertahanan maupun rakyat dibuat heran. Bahkan pernyataan Panglima TNI-AD tersebut terlontar setelah Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, mengeluarkan pendapatnya mengenai TNI yang sudah terlalu ‘gemuk.’ Dari titik ini pertanyaan mengerucut apakah penambahan jumlah tentara sebanyak itu memang dibutuhkan Indonesia.

Untuk menjawab hal tersebut tentunya kita harus menyesuaikan jumlah angkatan perang dan luas wilayah Indonesia Indonesia yang harus dijaga. Besar kecilnya jumlah pasukan yang diperlukan tentunya harus merujuk pada, kondisi geografis, luas wilayah, dan faktor ancaman terhadap negara. Saat ini terdapat 382.236 tentara dari berbagai kesatuan di Indonesia. Komposisinya adalah 292.976 prajurit pada AD, 60.126 pada Angkatan Laut (AL), dan 29.134 pada Angkatan Udara (AU).

Total luas wilayah Indonesia termasuk lautan yang harus dijaga seluas 1.919.440 km2. Wilayah seluas itu pun terbagi ke dalam 17.504 pulau besar maupun kecil yang tersebar sepanjang Nusantara (data Dep Kelautan). Tercatat di darat, Indonesia bersinggungan langsung sepanjang 2.830 km dengan tiga negara. Yaitu dengan Timor Leste sepanjang 228 km, Malaysia 1.782 km, dan Papua Nugini 820 km. Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu sepanjang 54.716 km.




Jika kita lihat sekilas nampak bahwa angka tersebut cukup besar. Bahkan sejumlah sumber menyebut, jumlah total personel tentara Indonesia menempati posisi ke 16 di dunia. Namun jumlah tentara haruslah disesuaikan dengan kebutuhan pengaman wilayah Indonesia. Jumlah ideal tentara pada suatu negara adalah 0,4% dari total jumlah penduduknya. Jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah sebanyak 220 juta kepala. Jika kita coba ambil kondisi ideal maka akan kita dapatkan angka 880.000 personel. Jumlah tersebut merupakan jumlah minimal untuk memberikan pengaman bagi wilayah dan warga negara Indonesia. Angka minimal tersebut sangat jauh dengan jumlah total tentara Indonesia, bahkan tidak sampai setengahnya. Padahal dephan sudah menggariskan TNI ke depan akan mampu memberikan pengamanan pada standar minimal.

Angka inilah yang menjadi dasar KSAD Jenderal TNI Djoko Santoso mengajukan wacana penambahan pasukan tersebut. Baginya, AD sebagai salah satu matra terbesar harus memiliki 800.000 personel agar dapat memenuhi kebutuhan ideal bangsa ini.

Hitung-hitungan di atas cukup menggambarkan bagaimana tingkat kebutuhan penambahan personel angkatan bersenjata Indonesia. Jika memang harus menambah jumlah personel, memang harus pintar dalam menyiasati minimnya anggaran yang dimiliki TNI. Dengan dana yang minim, TNI harus memberikan skala prioritas dalam pengembangan angkatan bersenjatanya.

Prioritas harus ditentukan berdasarkan potensi ancaman terhadap Indonesia. Potensi ancaman dari tiap negara akan berbeda-beda sehingga akan membuat perbedaan pada komposisi tentaranya dan besaran anggaran tiap angkatan.


Menegaskan Wibawa Bangsa
Angkatan bersenjata yang kuat tentunya akan menambah besar wibawa bangsanya. Konsep ini bukan dalam artian bahwa angkatan bersenjata tersebut akan dipakai untuk berperang. Namun dalam dunia global internasional yang anarki, mutlak hitung-hitungan kekuatan menjadi salah satu tolok ukur wibawa suatu bangsa. Negara dengan perekonomian yang kuat dan angkatan bersenjata yang berwibawa akan mendapatkan respek yang lebih dari negara lainnya.

Sudah dua kali kisah kita bersitegang dengan negara tetangga terkait sengketa perbatasan atau kepemilikian pulau dan dua kali pula kita dihinggapi ketidakyakinan dengan kekuatan bersenjata kita jika sewaktu-waktu terjadi perang.

Tak dapat dimungkiri bahwa diplomasi merupakan jalan terbaik menyelesaikan perselisihan-perselisihan internasional (international disputes). Namun tak dapat dikesampingkan juga peran angkatan perang yang bisa menjadi sarana bergaining dalam diplomasi.

Menurut Dephan RI saat ini ada 10 ancaman utama terhadap Indonesia, yaitu terorisme, gerakan separatis bersenjata, kelompok radikal, konflik komunal, kerusuhan sosial, perompakan dan pembajakan di laut, imigrasi ilegal, illegal fishing, illegal logging dan penyelundupan, dan gangguan terhadap pemerintahan daerah. Pertahanan yang akan dibentuk harus berdasar pada potensi ancaman yang ada saat ini.

Dari data tersebut nampak yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah sarana pengamanan dan pengintaian di sepanjang daerah Indonesia. Untuk ancaman perang pun ternyata tak masuk sebagai salah satu potensi ancaman bagi Indonesia. Asia Tenggara pun termasuk sebagai salah satu region yang tentram. Eskalasi ketegangan untuk Asia saat hanya terjadi di Asia Timur dan Asia Tengah.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara ternyata sepanjang sejarahnya tidak memiliki sejarah ancaman perang yang besar. Sejak revolusi kemerdekaan praktis ancaman perang hanya terjadi pada masa konfrontasi dengan Malaysia pada 1963-1965. Setelah masa itu hanya ada konflik-konflik kecil dengan negara tetangga yang bisa dikatakan memiliki potensi perang yang sangat rendah.

Minim Anggaran
RAPBN 2008 sedikit memberikan angin segar bagi Dephan dan TNI. Pemerintah menganggarkan Rp33,7 trilliun untuk TNI. Angka tersebut sedikit naik dibandingkan angka pada 2007 sebesar Rp31,5 trilliun.

Namun angka tersebut masih jauh dari cukup untuk militer Indonesia. Untuk Asia Tenggara pun anggaran sebesar itu masih sangat minim (lihat grafis). Saat ini anggaran militer Indonesia hanya sebesar 0,93% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut masih kurang standar untuk menciptakan kekuatan angkatan bersenjata minimal. Bahkan untuk mencapai kekuatan utama minimal diperlukan anggaran sebesar 5% dari PDB.

Anggaran Dephan itu pun saat ini lebih dari 50% terserap untuk keperluan di luar pengembangan sistem persenjataan. Dana tersebut hanya untuk kesejahteraan prajurit, bela negara, dan fasilitas militer. Alutsista (alat utama sistem pertahanan) sendiri hanya menikmati sisa dari pos-pos anggaran rutin tersebut.

Menyikapi anggaran yang sangat terbatas tersebut, sudah sepatutnya Indonesia mengoptimalkan anggaran untuk alutsista. Penambahan personel akan membuat anggaran yang minim di TNI semakin sesak. Selama ini anggaran yang diberikan dari Dephan tak pernah mencukupi. Inilah alasan di balik berbagai bisnis yang melibatkan militer. Rata-rata selama ini hanya 30% dari kebutuhan TNI yang terpenuhi oleh Dephan. Sisanya militer memenuhi biaya operasinya yang mahal dan usaha meningkatkan kesejahteraan anggotanya dengan berbagai sayap bisnis yang dimilikinya.

Penambahan personel tentu akan mengakibatkan makin membengkaknya anggaran yang tak mampu dipenuhi oleh APBN. Hal ini tentunya juga akan membuat TNI mau tak mau mencari sendiri dan akhirnya akan menghambat reformasi militer yang sedang digiatkan ini. Militer dikahawatirkan akan kembali ke ranah bisnis dan akhirnya jauh dari batasan militer profesional yang selama ini hanya menjadi mimpi di Indonesia namun sekarang sudah mulai menunjukkan titik cerah.

Minimnya alutsista yang ada memang sangat terkait dengan minimnya anggaran. Alustista yang dimiliki pun akhiranya masuk dalam kategori memprihatinkan. Hampir di semua lini mengalami kekurangan. Banyak juga alutsista yang sudah tua dan tak laik pakai lagi. Dapat kita lihat bagaimana terharunya mantan Kepala staf Angkatan Laut (KSAL) Indonesia Laksamana Bernard Kent Sondakh yang demikian terharu ketika menyaksikan kedatangan korvet KRI Diponegoro yang baru selesai dibangun di Belanda. Kedatangan korvet tercanggih itu mengurangi rasa haus angkatan laut yang selama ini hanya dibekali kapal dengan usai puluhan tahun dengan teknologi dan kemampuan yang sangat minim.

Namun jika angkatan bersenjata Indonesia tak ditopang dengan alutsista yang memadai tentunya akan seperti macan ompong saja, bisa mengaum tapi tak bisa menggigit. Banyak pesawat atau kapal yang tak memiliki persenjataan yang lengkap sehingga hanya mampu menggertak pihak yang mengganggu keamanan Indonesia. Bahkan ada anekdot yang mengatakan pilot Indonesia tak berani menembakkan rudalnya, bukan karena penakut atau tak pandai, melainkan karena Indonesia hanya memilki sedikit stok rudal.

Jumlah alutsista kita (lihat label) sangat kurang untuk menjaga kedaulatan negara kepulauan yang begitu luas ini. Berbagai kegiatan ilegal akhirnya marak terjadi terutama di daerah perbatasan yang sangat minim penjagaan. Bahkan sebagai negara maritim Indonesia sudah sangat jauh tertinggal dari Thailand yang bukan negara maritim. Thailand mempunyai sebuah kapal induk yang akhirnya menjadikannya sebagai angkatan laut terkuat di ASEAN.

Alutsista Dalam Negeri
Sebenarnya Indonesia memilki potensi besar untuk memproduksi sendiri alutsistanya (lihat tabel). Saat ini mayoritas alutsista Indonesia adalah hasil impor dari Amerika Serikat, Rusia, Belanda, Jerman, Prancis, Polandia, dan Ceko. Ada yang diimpor dalam keadaan baru namun kebanyakan dalam kondisi bekas rekondisi.

Padahal terdapat tiga industri senjata di negeri ini yang setidaknya bisa mengurangi ketergantungan terhadap pihak luar negeri. Namun komitmen pemerintah untuk meningkatkan industri strategis ini ternyata sangat kurang. Dari anggaran pertahanan yang dihabiskan tahun lalu ternyata pengembangan industri pertahanan nyaris tak dapat jatah. Padahal jika bicara potensi Indonesia ternyata cukup diakui. Bahkan berita yang cukup mengejutkan akhir-akhir ini adalah dipailitkannya PT. Dirgantara Indonesia (DI)

Sudah banyak pesawat CN-235 produksi PT DI yang dipakai di luar negeri dan diakui kehebatan dan kecanggihannya. PT PAL juga sudah mampu memproduksi berbagai kapal patroli. Bahkan saat ini sudah mampu memproduksi kapal cepat dengan panjang 57 meter dengan sepesifikasi cukup mumpuni.

Bagaimanapun juga sektor pertahanan merupakan sektor yang mahal. Namun pemerintah harus mampu melihat peluang yang ada dan berusaha mengembangkan potensi dalam negeri untuk memaksimalisasi kekuatan pertahanan dan menaikan derajad kita di mata dunia. (pangeran ahmad nurdin)
Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi 24 September 2007

Tidak ada komentar:

Archives


M S S R K J S