Jumat, 26 Oktober 2007

Carut Marut Seleksi Anggota KPU, Antara Idealisme dan Kebutuhan Mendesak

Proses seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat menjadi sorotan.Wajah KPU baru ini langsung disorot karena lolosnya calon yang terkait kasus korupsi. Masalah seolah tidak beranjak dari KPU Pusat.

Heboh korupsi beberapa anggota KPU pascapemilu presiden pada 2004 mendapat sorotan besar dari media. Peristiwa yang menyebabkan beberapa anggotanya harus rela mengisi hidupnya di balik bui ini nampaknya masih belum cukup membuat coreng-moreng wajah lembaga pelaksana pemilu ini.

Seleksi anggota KPU yang baru-baru ini dirampungkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ternyata meloloskan calon anggota yang terlibat kasus dugaan korupsi. Luka lama yang ditinggalkan beberapa anggota KPU pada periode sebelumnya sebenarnya sudah cukup membuat KPU harus memanggul begitu besar beban berat di pundaknya.




Kasus korupsi yang terjadi membuat keberhasilan KPU dalam menyelenggarakan pemilu demokratis terbesar di dunia bak menguap. Keberhasilan tersebut menjadi tak ada artinya ketika berbagai carut-marut kesalahan tersebut diangkat. Proses seleksi anggota KPU ini sudah menerima cercaan dan keragu-raguan dari berbagai kalangan jauh sebelum hasil calon mengerucut menjadi 21 orang.

Hingga DPR memilih tujuh anggota KPU, cercaan masih terjadi karena memunculkan nama yang terkait kasus korupsi. Awal keraguan muncul ketika beberapa calon yang dari rekam jejaknya dinilai sangat baik dan memuaskan ternyata rontok di tengah jalan seleksi. Kebanyakan dari para calon terkenal tersebut terganjal di tes psikologi. Dari 270 pendaftar yang lolos persyaratan administrasi, hanya 45 orang yang lolos tes psikologi dan maju ke tahapan selanjutnya.

Beberapa tokoh yang rontok pada tes psikologi,di antaranya Hadar Navis Gumay (CETRO), Indra J Pilliang (CSIS), Sekjen Depdagri Progo Nurjaman, mantan anggota Komnas HAM Bambang W Soeharto,mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Didik Supriyanto.Bahkan, Ramlan Surbakti dan Valina Singka, anggota KPU aktif juga tidak lolos.

Semuanya terjegal dalam tes psikologi yang terdiri atas tes inteligensia, tes kesetiaan, tes leadership,dan tes kejiwaan. Tidak terbukanya panitia seleksi dalam menjelaskan parameter penilaian disesalkan banyak pihak yang penasaran dengan hasil tersebut.

Banyak Calon Bermasalah

Persyaratan bahwa anggota KPU yang tidak boleh terkait partai tertentu ternyata terlangkahi dengan lolosnya beberapa anggota partai dalam beberapa tahapan seleksi. Hal tersebut membuktikan kekurangcermatan dalam proses seleksi KPU. Contohnya adalah Entin Nurhaetin Ningrum, calon anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di daerah pemilihan Jawa Barat IX,lolos hingga 45 besar.

Nama Theofilus Waimuri bahkan sempat mampir di daftar calon anggota KPU yang akan dinilai DPR sekalipun setelah itu didiskualifikasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa panitia seleksi KPU tidak melaksanakan pengecekan ulang berkas dengan kondisi di lapangan. Namun,sebenarnya panitia seleksi tak bisa disalahkan 100%.Waktu yang diberikan untuk melakukan penelitian administrasi bakal calon anggota,sesuai amanat UU No 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu,hanya lima hari kerja.

Partisipasi dari masyarakat juga terhitung kurang karena hasil penelitian administrasi yang sudah diumumkan panitia seleksi tak mendapat feedback yang cukup. KPU adalah organ vital dalam penegakan pilar demokrasi Indonesia. Pengadaan pemilu yang demokratis ada di tangan lembaga ini.Pemilu demokratis tentu bisa saja menjadi buyar jika KPU terus direpotkan dengan berbagai masalah yang sebenarnya tidak berhubungan dengan bidang kerjanya.

Adanya masalah dalam tubuh KPU akan mengganggu kinerja komisi yang harus selalu independen ini. Independensi tidak selalu hanya bebas dari afiliasi politik dengan partai tertentu, melainkan independensi juga dapat diartikan bebas dari masalah. Jadi, dalam tiap tindakannya, KPU maupun anggotanya tidak harus memusingkan urusan dengan pihak-pihak lain.

Lolosnya Syamsul Bahri, yang terkait kasus korupsi pabrik gula di Malang, Jawa Timur, memang patut dipertanyakan. Kelolosan tersebut menjadi kesalahan jika kita tinjau dari perspektif ingin membentuk KPU yang kuat dan bebas dari masalah.Kesalahan ini tentu dapat kita simpulkan sebagai kesalahan yang wajib diperbaiki.

Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah sebenarnya tidak perlu repot-repot mengadakan seleksi ulang karena daftar yang diberikan DPR berbentuk urutan nilai calon. Dengan demikian, misalkan pelolosan Syamsul Bahri dianulir, maka penggantinya dapat diambil dari calon nomor urut kedelapan berdasarkan hasil penilaian DPR.

Maksimalisasi Calon yang Ada

Wacana seleksi ulang anggota KPU mungkin terdengar cukup baik untuk meluruskan kembali berbagai kekurangan yang telah dilakukan dalam seleksi.Berbagai kekurangan, terutama dalam psikotes yang dianggap kurang jelas parameternya, membuat beberapa calon merasa dirugikan. Namun, hal tersebut menjadi tidak memungkinkan jika kita sadar akan realita pemilu legislatif yang akan digelar pada April 2009 dan akan dilanjutkan pemilu presiden.

Keduanya memerlukan kesiapan dan fokus yang tinggi dari para anggota KPU terpilih. Tentunya para anggota KPU harus melakukan penyesuaian terlebih dahulu dalam jabatan barunya tersebut dan itu memerlukan waktu. Praktis, terhitung dari Oktober 2007 hingga April 2009 anggota KPU hanya memiliki sekitar 18 bulan untuk membiasakan diri dengan mekanisme kerja di KPU dan menyiapkan gelaran pesta demokrasi lima tahunan Indonesia.

Belum lagi, jika kita kaitkan dengan waktu yang diperlukan untuk membentuk Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang harus menunggu KPU Pusat siap dan akhirnya bisa membentuk KPUD-KPUD provinsi maupun kabupaten/kota. Akhirnya maksimalisasi calon yang ada menjadi pilihan realistis bagi pemerintah. Tentunya, kita semua tak ingin permasalahan ini akhirnya menghambat kesiapan pelaksanaan Pemilu 2009, apalagi jika sampai permasalahan ini membuat gelaran akbar tersebut ditunda.

Toh, dari tujuh anggota KPU terpilih tersebut, hanya satu yang bermasalah. Secara umum, keenam calon yang lainnya memiliki rekam jejak yang cukup baik. Dua di antaranya juga pernah berkiprah di KPUD Bali dan Kalimantan Selatan. Selain itu, dua calon lainnya pernah menjadi pengawas serta pemantau pemilu di daerah ya masing-masing.

Sekarang semuanya kembali lagi kepada kita untuk menyikapi permasalahan ini. Jika kita terus mempermasalahkan seleksi KPU yang memang kurang transparan sehingga mengecewakan banyak pihak,proses persiapan pemilu kita akan tersendat-sendat. Seleksi ulang pun tidak menjamin calon yang terpilih akan lebih baik, sekalipun harapan ke arah itu tetap ada. (pangeran ahmad nurdin/ litbang SINDO)

Tidak ada komentar:

Archives


M S S R K J S