Jumat, 26 Oktober 2007

Bermula dari Proyek Tri Nusa Bima Sakti

Pada 1960-an sebuah pemikiran besar terbetik dari relung ide Prof. Dr. Sedyatmo (alm), seorang guru besar di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ide yang tergolong berani pada kondisi Indonesia zaman itu adalah mengenai hubungan langsung antara pulau Sumatera dan Jawa, dua pulau tersibuk di Indonesia.

Gayung bersambut, ternyata ide tersebut mendapat respon positif dari pemerintahan Presiden Soekarno. Pada 1965 uji coba desain jembatan Sumatera-Jawa (Jembatan Selat Sunda) dibuat di ITB. Hasil dari percobaan tersebut akhirnya dapat disampaikan ke meja Presiden RI Soeharto pada awal Juni 1986.
Pemerintah lalu mencanangkan suatu mega proyek yang diberi nama Tri Nusa Bima Sakti. Proyek ini adalah proyek yang berusaha mengubungkan pulau Sumatera-Jawa-Bali dalam satu jalur darat utama. Presiden Soeharto lalu menunjuk Menteri Negara Riset dan Teknologi / Kepala Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) BJ Habibie untuk menangani proyek ini.
Rencana jembatan penghubung antar pulau Sumatera, Jawa, dan Bali tersebut direncanakan akan terkoneksi dengan rencana jalan raya bebas hambatan Asia (Asian Highway). Namun mega proyek ini ternyata mendapat banyak hambatan, terutama finansial. Sampai saat ini baru proyek jembatan Suramadu saja yang sudah terealisasi dan direncanakan menghabiskan anggaran sebesar Rp3,27 trilliun.


Pada pertengahan 1990-an, kembali pra-studi kelayakan (pra feasibility study) JSS dilakukan oleh swasta dengan Wiratman & Associates milik Prof Dr Ir Wiratman Wangsadinata. Studi tersebut mengestimasi proyek ini akan menyedot dana sekitar Rp25 triliun dengan masa konstruksi 10 tahun. Waktu itu sudah direncanakan jalan akan terdiri dari enam jalur (dua arah) dan trek ganda kereta api. Selain itu juga akan dibuat sarana peristirahatan dana sarana penunjang lainnya.
Ternyata hantaman krisis ekonomi membuat rencana tersebut menjadi di luar jangkauan kemampuan pemerintah Indonesia. Proyek yang sempat akan ditangani oleh Ari Sigit, cucu mantan Presiden Soeharto, akhirnya kandas di tengah jalan.
Penandatanganan Memorandum of Agreement (MOA) antara Pemerintah Daerah (pemda) Lampung dan Banten pada 10 Agustus 2007 membawa angin segar bagi mega proyek ini. Akhirnya Memorandum of Understanding (MoU) pra kajian Jembatan Selat Sunda (JSS) yang menjadi dasar pelaksanaan proyek ditandantangani di atas Kapal Tunas Wisesa milik Tomi Winata pada 3 Oktober 2007. MoU tersebut ditandatangani oleh Gubernur Lampung, Banten, serta kabupaten-kabupaten di pesisir selat Sunda. Wiratman Wangsadinata dari Wiratman & Associates dan Tomi Winata selaku pemilik PT Artha Graha, pengembang jalan tol antarpulau ini juga menandatangani selaku pelaksana. Penandatanganan juga disaksikan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta dan Menteri Sekretaris Negara, Hatta Rajasa.
Besar harapan kita pemerintah memberikan perhatian serius bagi proyek yang dapat memajukan perekonomian bangsa ini serta memanjukan gengsi di mata dunia. Dengan panjangnya masa pembangunan, jangan sampai pemerintah hanya menjadikan proyek ini sebagai proyek politis demi keuntungan sesaat mencari popularitas. Masyarakat pun harus selalu kritis mengingat track record korup pemerintah Indonesia. Proyek secanggih dan sebesar ini tak memberikan ruang sama sekali untuk kesalahan yang mungkin timbul oleh ulah pejabat korup.(pangeran ahmad

nurdin)

Tidak ada komentar:

Archives


M S S R K J S