Senin, 25 Februari 2008

Mahalnya Hasrat Politik

KELAHIRAN ratusan parpol baru cerminan pertumbuhan demokrasi sekaligus kegagalan artikulasi ide di tingkatan elite. Undang-Undang (UU) No 2/2008 tentang Partai Politik telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

UU ini merupakan salah satu bagian dari paket UU politik yang mengatur tentang partai politik dan pemilihan umum (pemilu).Pengesahan UU ini menjadi landasan konstitusional keberadaan partai politik di Indonesia. Kini, tak kurang dari seratus partai telah mendaftarkan diri ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham). Jumlah tersebut cukup banyak sekalipun tak sebanyak sebelum Pemilu 2004 yang mencapai lebih dari 200.

Beberapa partai hanya berganti nama dari partai yang tak mencapai electoral threshold pada Pemilu 2004, beberapa lainnya hanya partai baru yang dihiasi wajah lama. Hanya segelintir yang berisi orangorang baru dengan ide dan perspektif yang berbeda dalam memandang persoalan bangsa ini. Seratus partai baru tersebut akan diverifikasi Depkumham sesuai UU No 2/2008 untuk menentukan kelayakannya mengikuti Pemilu 2009.

Jika dipandang layak,mereka akan bertarung memperebutkan hati rakyat dengan segala bunga-bunga janji bersama tujuh partai yang sudah lolos terlebih dahulu. Partai-partai tersebut, antara lain Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),Partai Demokrat (PD), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN),Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pembentukan partai baru memang sesuai Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 yang mengatur kebebasan berserikat dan berkumpul.

Kebebasan ini pula yang menjadi salah satu fondasi demokrasi. Hal ini terbukti pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba) yang sangat represif terhadap partai politik dan segala macam bentuk kebebasan politik. Pada awal 1971, persis sebelum pelaksanaan Pemilu 1971, partai-partai yang ada dipaksa untuk melakukan fusi menjadi 10 partai saja. Keadaan yang tak memungkinkan terjadinya konsolidasi membuat kemenangan mutlak diraih partai Golkar dengan meraup 236 kursi yang berarti 54,3% kursi di DPR.

Jika digabungkan dengan kursi fraksi ABRI sebanyak 75 kursi (17,2%), totalnya berjumlah 311 kursi atau 71,5% yang dikontrol langsung oleh penguasa Orde Baru (lihat grafis). Fusi jilid kedua dilanjutkan pada 1973 yang menggabungkan sembilan partai hingga tinggal dua partai, PDI dan PPP. Dalam bahasa Orba saat itu ada dua partai dan satu golongan. Golkar memperoleh fasilitas dan keistimewaan yang luar biasa hingga menjadi partai penguasa hingga Pemilu 1997 (lihat grafis). Golkar melenggang sendiri mengamankan fondasi rezim Orba,meninggalkan PDI dan PPP. Pola tersebut bertahan hingga 1998 bersamaan dengan runtuhnya rezim otoritarian Orba.

Kegagalan Elite Politik

Sekalipun menjadi gambaran kebebasan berserikat di Indonesia, menjamurnya partai baru juga menjadi potret kegagalan elite politik bangsa untuk bersatu.Hasrat politik yang menggebu-gebu menjadikan persatuan partai-partai yang ada dalam satu platform menjadi hal yang mustahil.

Yang terjadi justru perpecahan yang tak berkesudahan. Bak menjadi tren,kongres yang dilakukan berbagai partai menjadi lonceng tanda perpecahan partai. Hal ini dialami baik oleh partai besar maupun kecil. Reformasi mendorong munculnya partai bak cendawan di musim hujan. Bahkan, pada 1999 terdaftar ada lebih dari 200 partai yang ingin ikut pemilu sekalipun hanya 48 yang lolos verifikasi. Masing-masing partai bersaing tanpa ada tekanan untuk fusi dari pemerintah. Namun, kekhawatiran mengenai banyaknya partai sudah mulai merebak.

Para pengamat berharap dengan berjalannya waktu, partai akan melakukan fusi secara alamiah. Jika kita coba merujuk pada kebiasaan berdemokrasi di luar negeri,kita akan temukan berbagai macam fusi maupun koalisi dilakukan partai.Partai-partai yang memiliki kesamaan platform akan melakukan aliansi dalam satu barisan sehingga menciptakan suatu kekuatan politik yang signifikan. Barisan Nasional di Malaysia dapat menjadi rujukan yang baik untuk masalah ini.

Kalaupun ada yang tidak beraliansi, itu pun dengan alasan ketidakcocokan platform yang diambil. Kekhawatiran akan fenomena terus menggelembungnya jumlah partai inilah yang disiasati dengan usulan menaikkan electoral threshold dalam RUU pemilu yang tak kunjung selesai digodok para anggota DPR. Pola tersebut diharapkan menjadi sarana untuk melakukan seleksi partai-partai di Indonesia karena sistem alamiah terbukti tak mampu meredam hasrat politik yang menggebugebu tersebut.

Padahal, dalam sistem multipartai yang dianut seperti sekarang ini, tetap dibutuhkan beberapa partai yang besar. Partai-partai di Indonesia sendiri umumnya hanya ada dalam beberapa platform yang sering kali tumpang tindih satu sama lain. Berbagai paham dan aliran yang ditawarkan partai-partai tersebut akhirnya membuat rakyat kebingungan. Hasilnya mudah ditebak, sudah menjadi pakem bahwa di tengah keraguan, masyarakat akan cenderung memilih partai yang sudah familier.

Banyaknya partai akhirnya jadi kontraproduktif dari tujuan awal para pendiri partai tersebut yang umumnya mulia, yaitu memberikan perubahan bagi Indonesia. Akhirnya, suara dari rakyat terbuang secara percuma karena tersebar dalam berbagai partai kecil yang tak mampu merengkuh kursi di DPR.Kalaupun meraih kursi, itu hanya dalam jumlah kecil sehingga tak mampu membuat perubahan yang signifikan dalam konfigurasi politik di DPR dan Indonesia secara umum.

Koalisi “Aneh bin Ajaib”

Pola koalisi partai di Indonesia menambah kerut di dahi mempertanyakan keanehannya. Ketika fusi tak juga dapat tercapai sekalipun berdiri di atas platform yang sama, pola koalisi yang dipertontonkan partaipartai menjadi kontradiksi yang mutlak.

Pola ini terutama terjadi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Partai-partai saling berkoalisi lintas platform.Beberapa partai dengan platform agama dapatberkoalisidenganpartai lain yang berbeda dasar agamanya. Partai dengan platform Pancasila dapat bersandingdenganpartaisosialis.

Pola koalisi antardaerah pun berbeda-beda. Jika di satu pilkada partai dapat berkoalisi, di daerah lainnya partai-partai tersebut dapat saling berjibaku. Dagelan paling mutakhir dipertontonkan pada Pilgub Jakarta pada Agustus lalu. Hampir semua partai tanpa mengindahkan platform berkoalisi dalam satu barisan menghadapi satu partai lainnya. Pertanyaan mendasar, apakah para elite politik tersebut benar-benar membuat partai atas dasar ketidaksamaan partai? Ataukah kenyataan tersebut menggambarkan hasrat politik yang tak dapat disalurkan lewat partai-partai yang sudah ada? (pangeran ahmad nurdin/litbang SINDO)

Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi Senin, 25 Februari 2008

Read More..

Senin, 18 Februari 2008

Mengurai Sistem,Menyulam Demokrasi

Pilkada sebagai salah satu keberhasilan demokrasi menuai banyak kekecewaan.Perbedaan dan kekecewaan harus dihadapi lebih dewasa. Simplifikasi sistem mutlak diperlukan.

SILANG sengkarut pelaksanaan beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) akhirakhir ini membuat banyak pihak meragukan keefektifannya. Berbagai tudingan diarahkan ke konsep pilkada langsung.Banyak yang menganggap konsep ini memakan biaya material (material cost), biaya sosial (social cost), dan kesempatan (opportinity cost) yang terlalu besar untuk bangsa yang tengah bangkit ini.

Segelintir lainnya terjebak dalam berbagai ketidakpuasan yang diakhiri dengan bermacam konflik.Pilkada di satu sisi mengembuskan semilir sejuk angin demokrasi, sementaradisisilainmenggelontorkan masalah instabilitas dan pemborosan anggaran. Banyak pihak kembali bernostalgia pada stabilitas politik yang menjadi jualan utama pemerintahan Orde Baru (Orba).Namun, tak kurang pula bermacam ksatria demokrasi mati-matian membela konsep ini.

Pilkada langsung bagi kelompok ini dijadikan cerminan keberhasilan demokrasi Indonesia. Polemik sah-sah saja terjadi dalam hal persetujuan terhadap kelanjutan pelaksanaan pilkada langsung.Tapi, semuanya tentu harus merujuk ke arah demokrasi yang tengah kita bangun bersama. Adu wacana yang terjadi jangan sampai membuat kita terjerembab dalam goronggorong demokrasi atau jatuh ke otoritarianisme yang pernah ada pada Orde Baru.

Sampai saat ini sudah dilangsungkan 479 pilkada langsung di Indonesia, terdiri dari 459 pilkada tingkat kabupaten/ kota dan 20 tingkat provinsi. Ke depan masih ada sekitar 161 pilkada yang akan dihadapi bangsa ini pada 2008. Sebanyak 13 tingkat provinsi dan 148 tingkat kabupaten/ kota (lihat grafis). Persiapan, pengorbanan besar, serta kebesaran hati dari seluruh bangsa diperlukan untuk menghadapinya.

Simplifikasi Tahapan

Dari awal dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No 32/ 2004 mengenai Pilkada,rangkaian hajatan ini sudah menuai begitu banyak protes.

Aturan yang menjelaskan bahwa pilkada bukanlah pemilihan umum (pemilu) membuat banyak kalangan gelenggeleng kepala.Namun, akhirnya pola ini bisa diterima, dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tingkat provinsi atau kabupaten/ kota yang menjadi penanggung jawab tertingginya. Keanehan muncul pada UU No 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Di sana ditekankan bahwa ada hubungan hierarkis antara KPU pusat dengan KPUD.

Hasilnya adalah seperti yang terjadi pada hasil Pilkada Maluku Utara. Kisruh dan kebingungan terjadi ketika KPU Pusat menganulir keputusan KPUD Maluku Utara. Masalah lain juga muncul dalam kisruh Pilkada Sulawesi Selatan yang berujung pada pilkada ulang di empat kabupaten. Sebenarnya dua-duanya sah-sah saja untuk dilakukan. Namun,ketika kedua produk hukum bertabrakan, yang tercipta adalah kebingungan seperti yang terjadi dalam kasus Maluku Utara tersebut. Pemerintah harus lebih jelas dan tegas dalam melihat masalah ini.

Jangan sampai kesalahan yang mungkin saja tidak disengaja tersebut menghambat demokrasi bangsa yang besar ini. Memang, pilkada di Indonesia sangat panjang dan melelahkan. Bahkan, usulan untuk mendorong penghapusan pilkada ataupun pemilihan kepala daerah cukup oleh DPRD provinsi atau kabupaten/kota itu sah-sah saja. Namun, sebelum jauh melangkah, ada baiknya kita berkaca pada sejarah masa lalu yang menggambarkan besarnya pengaruh pola patrimonial dalam politik Indonesia. Lagi pula, usulan tersebut adalah sebuah langkah yang lari dari esensi masalah.

Kredo dasar dalam memecahkan masalah adalah cari akar masalahnya,perbaiki kekurangannya. Tentunya yang diinginkan tiap warga daerah adalah pemimpin yang mewakili kepentingannya. Jika lewat mekanisme DPRD, akan terjadi banyak distorsi.Yang paling kelihatan dan mungkin terjadi adalah distorsi kepentingan dari partai politik dan pemerintah pusat.Keduanya secara substansi akan mengembalikan Indonesia ke pola sentralistis.

Tampaknya kita sudah cukup kenyang pengalaman akan kebijakan sentralistis. Pola ini cenderung menggeneralisasi Indonesia yang bercorak. Ujung-ujungnya kebijakan yang diterapkan tak sesuai kebutuhan daerah. Hal yang sama akan sangat mungkin terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Untuk mempersingkat,bisa dicoba pilkada berbarengan tiap provinsi.Jadi,seluruh tahapan pilkada kabupaten/ kota dan provinsi digabung dalam satu waktu tertentu. Pola ini nanti bisa mengurangi risiko sosial dan material. Maka, masyarakat hanya disuguhi tiga kali pemilihan, yaitu pilkada, pemilu legislatif, dan pemilu presiden-wapres.

Tentunya hal tersebut membutuhkan produk hukum untuk memayunginya. Satu lagi yang perlu diingat, jika pilkada dihilangkan, kita perlu mengucapkan selamat tinggal pada calon independen. Jika kepala daerah dipilih melalui DPRD, tentu calon yang beredar adalah orang-orang partai atau setidaknya calon nonpartai, tetapi terdistorsi berat oleh kepentingan partai yang cenderung sentralistis.

Demokrasi, Pembangunan, dan Stabilitas Politik

Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), frase inilah yang menjadi salah satu dasar berharganya suara rakyat dalam demokrasi. Ungkapan yang dipopulerkan William of Malmesbury –sejarawan Inggris abad ke- 12– ini menimbulkan perdebatan yang panjang.

Alcuin dan Charlemagne, pahlawan Prancis pada masa lalu, pernah juga berkesimpulan bahwa suara rakyat tak selalu benar dan merupakan ekspresi Tuhan di muka bumi. Perdebatan berakhir tanpa ujung,apakah memang suara rakyat itu selalu baik atau bisa salah dan berakhir buruk. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah dasar dari segala hal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akar kata demokrasi yaitu demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan), yang juga dianut Indonesia, menegaskan pentingnya pendapat masyarakat.

Masalah perbedaan bisa berujung pada instabilitas politik memang sangat mungkin terjadi.Namun,yang perlu dipertanyakan adalah apakah perlu untuk mengorbankan demokrasi itu sendiri. Lucien W Pye dalam bukunya Aspects of Political Development (1966) memberikan beberapa indikator keberhasilan pembangunan.

Paling utama dari semuanya adalah masalah stabilitas politik. Nah, inilah yang menjadi pilihan Orde Baru dengan mengorbankan stabilitas politik. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya menghadapi konflik? Di sinilah peran partai politik diperlukan.Partai politik dalam skema demokrasi adalah aktor manajemen konflik sekaligus sarana artikulasi suara masyarakat yang menjadi inti dari demokrasi. Partai politik harus menjadi pelepas dahaga akan stabilitas bagi bangsa ini. (pangeran ahmad nurdin/ litbang SINDO)

Dimuat pada Harian Seputar Indonesia hari Senin, 18 Februari 2008

Read More..

Jumat, 15 Februari 2008

Intensifikasi dan Pertumbuhan Penduduk

MASALAH kenaikan penduduk yang berkorelasi positif dengan kenaikan kebutuhan pangan telah lama dikenal. Bahkan,keduanya sering kali berkorelasi dengan ketakutan manusia postindustrial yang mempercayai adanya hubungan sebab akibat antara pertumbuhan penduduk, kemiskinan,dan kelaparan.

Thomas Malthus secara pesimistis menggambarkan konsep tersebut dalam bukunya yang berjudul Priciple of Population (1798). Demografer asal Inggris ini menggambarkan bahwa pertumbuhan produksi pangan selalu tumbuh dalam deret aritmetika, sedangkan populasi berkembang dalam deret ukur. Singkat kata, pertumbuhan produksi pangan takakan mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk.

Hasilnya adalah kelaparan. Namun, pandangan Malthus tersebut diadu oleh Ester Boserup (1965) yang menjelaskan bahwa peningkatan jumlah penduduk akan mendorong intensifikasi pertanian. Keduanya tak bisa disalahkan atau dibenarkan sepenuhnya. Seperti yang kita ketahui tentang tak adanya kebenaran mutlak dalam ilmu pengetahuan, begitulah adanya juga dengan kedua paradigma tersebut.

Pendapat Malthus sedikit banyak tergambar dengan kondisi Indonesia saat ini. Produksi pangan nasional tidak dapat mengikuti pesatnya pertumbuhan penduduk Indonesia. Akhirnya pemerintah tergantung pada ekspor yang harganya sangat rentan. Harga melambung tinggi akibat goyangnya pasar membuat beberapa produk pangan tak lagi tergapai masyarakat kecil.

Namun, di lain pihak, pendapat Boserup telah memiliki tempat sendiri lewat program swasembada pangan yang pernah dilakukan. Berbagai teknologi diperkenalkan untuk meningkatkan hasil pertanian hingga Indonesia mencapai swasembada pangan, sekalipun hasil yang diciptakan jadi buruk karena pelaksanaan yang tidak konsisten.

Sekarang Indonesia memiliki kedua masalah tersebut. Indonesia dikenal sebagai negara yang subur, baik pertumbuhan penduduknya maupun tanahnya.Keduanya menguntungkan dari kedua sudut pandang. Indonesia bisa mengembangkan pertanian melalui tanahnya yang luas sekaligus memanfaatkan SDM yang melimpah. (pangeran ahmad nurdin/litbang SINDO)

Read More..

Archives


M S S R K J S