Jumat, 26 Oktober 2007

Janji Efisiensi PLTN di Indonesia: Berisiko Tinggi,Ramah Lingkungan


Isu pembangunan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Semenanjung Muria, tepatnya di Lemah Abang, Jepara, Jawa Tengah kembali mencuat. Berbagai ketakutan menyeruak di masyarakat akan dampak bencana yang mungkin timbul terkait radiasi yang dihasilkan oleh PLTN.

Berkali-kali warga Jepara dan daerah-daerah sekitarnya melakukan aksi unjuk rasa hingga longmarch sebagai bentuk boikot terhadap rencana pembangunan PLTN yang akan mulai beroperasi pada 2015 tersebut. Bahkan label ‘haram’ dijatuhkan oleh PCNU (Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama) Jepara, sekalipun label tersebut tidak mutlak dengan syarat proyek PLTN dipindahkan ke tempat lain. Kesemuanya didasari pandangan bahwa pembangunan PLTN akan membawa lebih banyak dampak buruk dibanding yang baik.

Kekhawatiran juga muncul dari para pemerhati lingkungan hidup. Bayangan bencana yang mungkin timbul oleh radiasi nuklir sangat mengganggu masyarakat. Nuklir juga dianggap bukan satu-satunya jalan,sekalipun sangat ekonomis. Bahkan beberapa anggota DPR, DPD, maupun DPRD yang menyuarakan keberatannya atas pembangunan PLTN ini Dampak dahsyat yang menghantui tersebut ditingkahi pula dengan ketidakpercayaan terhadap kinerja pemerintah yang dianggap belum mampu menangani proyek dengan risiko sangat tinggi. Patologi birokrasi dan kultur yang buruk dalam pelaksanaan berbagai proyek yang sudah-sudah menebalkan rasa pesimisme masyarakat. Namun, pihak yang pro bersikeras bahwa kelanjutan proyek PLTN bisa menjadi jawaban akan krisis energi listrik.Indonesia diharapkan mampu terlepas dari ketergantungan terhadap minyak bumi yang membuat APBN makin sesak.

Krisis Energi Listrik

Krisis energi listrik di Indonesia telah mencapai tahap kritis. Banyak daerah mengalami pemadaman bergilir. Bahkan tercatat dari lima belas daerah pelayanan listrik PLN, tercatat hampir semua pernah mengalami terjadi defisit energi listrik yang berujung pemadaman bergilir pada 2006. Hanya empat daerah yang tidak melakukan pemadaman,itupun beberapa kali pada posisi siaga. Ketidakmampuan PLN untuk menyuplai listrik tersebut seringkali ditingkahi pula dengan permasalahan distribusi bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM yang terus meroket membuat PLN seringkali meminta kenaikan tarif dasar listrik (TDL) kepada pemerintah yang berujung inflasi dan beban penderitaan masyarakat yang bertambah.



PLTN hadir sebagai jawaban atas permasalahan listrik yang dihadapi Indonesia. Proyek yang sempat terkatung-katung karena masalah pendanaan ini memberi angin segar harapan listrik murah di Indonesia. Namun sekaligus membawa bayang-bayang monster menakutkan yang tak dapat dicerna masyarakat.

Efisien dan Murah

Sebagai sumber energi, pemanfaatan Nuklir bukan hal baru. Sejak percobaan terhadap Uranium pertama kali dilakukan Enrico Fermi di tahun 1934, pengembangan nuklir sebagai sumber energi terus berkembang. Akhirnya tonggak sejarah PLTN berdiri pada 20 Desember 1951 di Arco,Idaho,Amerika Serikat.Kemudian pada 9 Mei 1954 di Obninsk,Rusia, ditegaskan peran nuklir sebagai sumber energi. Saat itu merupakan sukses pertama kali PLTN mampu memasok kebutuhan listrik, sebesar lima MW (megawatt). Krisis energi dunia menimbulkan kekahawatiran yang besar bagi semua pihak. Bahan bakar fosil yang diperkirakan pada abad ke-22 akan habis membuat manusia berlomba mencari sumber energi alternatif.

Nuklir menjadi salah satu jawaban bagi problem kelangkaan yng akan terjadi ke depan. Efisiensi biaya yang mungkin dihasilkan oleh nuklir membuat jenis energi ini menjadi primadona calon pengganti bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Nuklir sendiri memiliki begitu banyak manfaat. Selain untuk pembangkit listrik, nuklir juga dimanfaatkan untuk keperluan kesehatan seperti mamografi, pangan maupun sebagai bahan bakar kapal selam yang sanggup berlayar berbulanbulan tanpa melakukan pengisian bahan bakar. Pemanfaatannya dapat dikatakan sukses membantu berbagai sendi kehidupan manusia. Terbukti bahwa pemanfaatannya tersebut tak memberikan dampak buruk melebihi sumber energi lainnya.

Bahkan tragedi kapal selam berbahan nuklir milik Rusia, Kursk, pada 12 Agustus 2000 yang tenggelam di Laut Barents tidak menimbulkan dampak yang terlalu berbahaya bagi lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat keamanan yang tinggi dapat mencegah potensi bahaya yang dimiliki oleh nuklir. Berbagai penelitian menyajikan hasil yang beragam mengenai efisiensi PLTN, namun hampir kesemuanya mencapai kesepakatan bulat bahwa PLTN lebih efisien dibandingkan dengan segala jenis pembangkit listrik lainnya. Sekalipun biaya pembangunan awalnya (set up cost) sangat tinggi,karena memerlukan teknologi dan tingkat keamanan yang mumpuni, na-mun biaya bahan bakar yang dikeluarkan sangat rendah.

Terlebih energi nuklir sangat efisien dari segi biaya dan tidak terlalu tergantung dengan bahan bakar fosil yang mulai langka. Penelitian yang dilakukan oleh NEA (Nuclear Energy Agency) yang memproyeksikan perkiraan harga memproduksi listrik pada 12 negara yang telah menggunakan PLTN dan dibandingkan dengan batubara dan gas alam ternyata hampir di semua tempat PLTN diperkirakan lebih mampu menyediakan listrik murah (lihat grafis). Dari hasil penelitian tersebut jelas PLTN lebih efisien dibanding pembangkit listrik tipe lainnya. Hampir di semua negara yang diteliti, listrik yang dihasilkan oleh PLTN lebih murah daripada yang dihasilkan melalui batubara maupun gas.Hanya di beberapa negara saja berlaku kebalikannya.

Itupun hanya untuk negara yang mampu mendapatkan batubara dan gas alam yang sangat murah. PLTN juga tak terlalu tergantung pada bahan bakar. Berdasarkan data yang dirilis oleh Lappeenranta University of Technology,Finlandia pada 2003 bahwa biaya bahan bakar pada pembangkit listrik berbahan bakar batubara hampir lima kali lipat biaya bahan bakar pada PLTN. Bahkan pada pembangkit listrik berbahan bakar gas alam biayanya 8,5 kali lipat dibanding PLTN. Satu kilogram uranium setara dengan 1.000-3.000 ton batubara (BATAN). Jadi, sekalipun harga Uranium seringkali naik drastis, namun tidak akan mempengaruhi besaran harga listrik per KWH (Kilowatt Hour) yang dihasilkan oleh PLTN.

Salah satu penelitian dari American Energy Independence mengandaikan jika harga Uranium naik dua kali lipat maka akan membuat biaya bahan bakar pada reaktor tipe Air Tekan Ringan (Light Water Reactor) akan naik sebesar 26% dan biaya produksi listrik secara keseluruhan naik 7%.Bandingkan dengan reaktor berbahan bakar gas alam.Jika harganya naik dua kali lipat maka biaya produksinya akan naik 70%. Angka ini cukup mencengangkan. Karena dengan harga bahan yang sama-sama naik dua kali lipat hasilnya reaktor dengan gas alam naik kurang lebih sepuluh kali lipat dari reaktor nuklir. Grafik yang dirilis oleh World Nuclear Association di atas ini juga menggambarkan bahwa nuklir relatif tidak terpengaruh oleh perubahan harga.

Dapat kita lihat oil boom yang terjadi pada awal tahun 80-an menyebabkan biaya listrik reaktor berbahan bakar gas alam dan minyak sangat mahal dibanding rektor nuklir. Bahkan berdasarkan data yang dirilis oleh World Nuclear Association pada 2006 diperkirakan bumi memiliki cadangan uranium hingga lima milliar tahun ke depan pada tingkat konsumsi saat ini. Ini jelas bisa menjadi alternatif dibanding bahan bakar fosil yang dikhawatirkan pada abad ke-22 akan sangat langka dan mahal.

Risiko Tinggi, Tingkat Keamanan Tinggi

Bayangan kecelakaan dan dampak penyebaran radiasi yang bisa mengganggu baik manusia maupun alam membuat energi nuklir ditakuti. Gerakan anti nuklir (anti nuclear movement) tumbuh bak cendawan di berbagai belahan bumi.Terlebih beberapa kecelakaan yang diblow up media memberikan informasi yang tidak lengkap sehingga menimbulkan rasa takut pada masyarakat. Padahal sebenarnya dapat dikatakan PLTN merupakan pembangkit dengan tingkat keamanan paling tinggi dibanding pembangkit listrik lainnya dan memiliki rekam jejak kecelakaan yang cukup baik.

Tragedi Chernobyl pada 1986 pun murni faktor kesalahan manusia yang tidak menaati prosedur. Hal yang sama berlaku pada tragedi Three Mile Island pada 28 Maret 1979, yang dilahap mentahmentah oleh media dan kaum lingkungan sebagai bahaya keberadaan pemanfaatan energi nuklir di muka bumi. (pangeran ahmad nurdin/ Litbang SINDO)
Tulisan ini dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi 15 September 2007

Tidak ada komentar:

Archives


M S S R K J S