KELAHIRAN ratusan parpol baru cerminan pertumbuhan demokrasi sekaligus kegagalan artikulasi ide di tingkatan elite. Undang-Undang (UU) No 2/2008 tentang Partai Politik telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
UU ini merupakan salah satu bagian dari paket UU politik yang mengatur tentang partai politik dan pemilihan umum (pemilu).Pengesahan UU ini menjadi landasan konstitusional keberadaan partai politik di Indonesia. Kini, tak kurang dari seratus partai telah mendaftarkan diri ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham). Jumlah tersebut cukup banyak sekalipun tak sebanyak sebelum Pemilu 2004 yang mencapai lebih dari 200.
Beberapa partai hanya berganti nama dari partai yang tak mencapai electoral threshold pada Pemilu 2004, beberapa lainnya hanya partai baru yang dihiasi wajah lama. Hanya segelintir yang berisi orangorang baru dengan ide dan perspektif yang berbeda dalam memandang persoalan bangsa ini. Seratus partai baru tersebut akan diverifikasi Depkumham sesuai UU No 2/2008 untuk menentukan kelayakannya mengikuti Pemilu 2009.
Jika dipandang layak,mereka akan bertarung memperebutkan hati rakyat dengan segala bunga-bunga janji bersama tujuh partai yang sudah lolos terlebih dahulu. Partai-partai tersebut, antara lain Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),Partai Demokrat (PD), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN),Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pembentukan partai baru memang sesuai Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 yang mengatur kebebasan berserikat dan berkumpul.
Kebebasan ini pula yang menjadi salah satu fondasi demokrasi. Hal ini terbukti pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba) yang sangat represif terhadap partai politik dan segala macam bentuk kebebasan politik. Pada awal 1971, persis sebelum pelaksanaan Pemilu 1971, partai-partai yang ada dipaksa untuk melakukan fusi menjadi 10 partai saja. Keadaan yang tak memungkinkan terjadinya konsolidasi membuat kemenangan mutlak diraih partai Golkar dengan meraup 236 kursi yang berarti 54,3% kursi di DPR.
Jika digabungkan dengan kursi fraksi ABRI sebanyak 75 kursi (17,2%), totalnya berjumlah 311 kursi atau 71,5% yang dikontrol langsung oleh penguasa Orde Baru (lihat grafis). Fusi jilid kedua dilanjutkan pada 1973 yang menggabungkan sembilan partai hingga tinggal dua partai, PDI dan PPP. Dalam bahasa Orba saat itu ada dua partai dan satu golongan. Golkar memperoleh fasilitas dan keistimewaan yang luar biasa hingga menjadi partai penguasa hingga Pemilu 1997 (lihat grafis). Golkar melenggang sendiri mengamankan fondasi rezim Orba,meninggalkan PDI dan PPP. Pola tersebut bertahan hingga 1998 bersamaan dengan runtuhnya rezim otoritarian Orba.
Kegagalan Elite Politik
Sekalipun menjadi gambaran kebebasan berserikat di Indonesia, menjamurnya partai baru juga menjadi potret kegagalan elite politik bangsa untuk bersatu.Hasrat politik yang menggebu-gebu menjadikan persatuan partai-partai yang ada dalam satu platform menjadi hal yang mustahil.
Yang terjadi justru perpecahan yang tak berkesudahan. Bak menjadi tren,kongres yang dilakukan berbagai partai menjadi lonceng tanda perpecahan partai. Hal ini dialami baik oleh partai besar maupun kecil. Reformasi mendorong munculnya partai bak cendawan di musim hujan. Bahkan, pada 1999 terdaftar ada lebih dari 200 partai yang ingin ikut pemilu sekalipun hanya 48 yang lolos verifikasi. Masing-masing partai bersaing tanpa ada tekanan untuk fusi dari pemerintah. Namun, kekhawatiran mengenai banyaknya partai sudah mulai merebak.
Para pengamat berharap dengan berjalannya waktu, partai akan melakukan fusi secara alamiah. Jika kita coba merujuk pada kebiasaan berdemokrasi di luar negeri,kita akan temukan berbagai macam fusi maupun koalisi dilakukan partai.Partai-partai yang memiliki kesamaan platform akan melakukan aliansi dalam satu barisan sehingga menciptakan suatu kekuatan politik yang signifikan. Barisan Nasional di Malaysia dapat menjadi rujukan yang baik untuk masalah ini.
Kalaupun ada yang tidak beraliansi, itu pun dengan alasan ketidakcocokan platform yang diambil. Kekhawatiran akan fenomena terus menggelembungnya jumlah partai inilah yang disiasati dengan usulan menaikkan electoral threshold dalam RUU pemilu yang tak kunjung selesai digodok para anggota DPR. Pola tersebut diharapkan menjadi sarana untuk melakukan seleksi partai-partai di Indonesia karena sistem alamiah terbukti tak mampu meredam hasrat politik yang menggebugebu tersebut.
Padahal, dalam sistem multipartai yang dianut seperti sekarang ini, tetap dibutuhkan beberapa partai yang besar. Partai-partai di Indonesia sendiri umumnya hanya ada dalam beberapa platform yang sering kali tumpang tindih satu sama lain. Berbagai paham dan aliran yang ditawarkan partai-partai tersebut akhirnya membuat rakyat kebingungan. Hasilnya mudah ditebak, sudah menjadi pakem bahwa di tengah keraguan, masyarakat akan cenderung memilih partai yang sudah familier.
Banyaknya partai akhirnya jadi kontraproduktif dari tujuan awal para pendiri partai tersebut yang umumnya mulia, yaitu memberikan perubahan bagi Indonesia. Akhirnya, suara dari rakyat terbuang secara percuma karena tersebar dalam berbagai partai kecil yang tak mampu merengkuh kursi di DPR.Kalaupun meraih kursi, itu hanya dalam jumlah kecil sehingga tak mampu membuat perubahan yang signifikan dalam konfigurasi politik di DPR dan Indonesia secara umum.
Koalisi “Aneh bin Ajaib”
Pola koalisi partai di Indonesia menambah kerut di dahi mempertanyakan keanehannya. Ketika fusi tak juga dapat tercapai sekalipun berdiri di atas platform yang sama, pola koalisi yang dipertontonkan partaipartai menjadi kontradiksi yang mutlak.
Pola ini terutama terjadi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Partai-partai saling berkoalisi lintas platform.Beberapa partai dengan platform agama dapatberkoalisidenganpartai lain yang berbeda dasar agamanya. Partai dengan platform Pancasila dapat bersandingdenganpartaisosialis.
Pola koalisi antardaerah pun berbeda-beda. Jika di satu pilkada partai dapat berkoalisi, di daerah lainnya partai-partai tersebut dapat saling berjibaku. Dagelan paling mutakhir dipertontonkan pada Pilgub Jakarta pada Agustus lalu. Hampir semua partai tanpa mengindahkan platform berkoalisi dalam satu barisan menghadapi satu partai lainnya. Pertanyaan mendasar, apakah para elite politik tersebut benar-benar membuat partai atas dasar ketidaksamaan partai? Ataukah kenyataan tersebut menggambarkan hasrat politik yang tak dapat disalurkan lewat partai-partai yang sudah ada? (pangeran ahmad nurdin/litbang SINDO)
Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi Senin, 25 Februari 2008
Senin, 25 Februari 2008
Mahalnya Hasrat Politik
Diposting oleh pangeran di 15.13
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar