Kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia sangat mendesak. Pemerintah harus memilih negara yang paling menguntungkan.
Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia,baik dari segi populasi, potensi sumber daya alam, maupun potensi perkembangan ekonomi.Negara ini bahkan sempat mendapat julukan Macan Baru Asia sebelum akhirnya terpuruk oleh hantaman krisis ekonomi yang melumpuhkan sendi-sendi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang terus membaik dan berada pada kisaran 6–7% per tahun menjadikan Indonesia sebagai negara yang potensial dan dilirik berbagai negara maju. Bukti nyata terhampar di depan mata kita.
Presiden Rusia Vladimir Putin bertandang pada September tahun lalu dengan menawarkan berbagai bantuan, termasuk tawaran pinjaman lunak sebesar USD1 miliar untuk peningkatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia. Setelah itu, Pangeran Akishino dari Jepang datang untuk memperingati 50 tahun hubungan Indonesia dengan Jepang.
Berbagai pemimpin negara lainnya juga datang untuk kepentingan masing-masing negara. Terakhir, kunjungan orang dari ring satu pemerintahan Amerika Serikat (AS),Menteri Pertahanan Robert Gates, memperkuat signifikansi peran Indonesia di dunia internasional. Kedatangan Robert Gates disambut baik pemerintah Indonesia disertai rencana pembelian alutsista dari negeri adikuasa tersebut.Pemerintah Indonesia berencana membeli beberapa pesawat untuk melengkapi skuadron F-16 yang sebelumnya sempat terbengkalai karena embargo yang dilakukan AS.
Arah pemikiran pemerintah tersebut menimbulkan tanda tanya besar mengenai skema pertahanan yang akan dibentuk. Embargo yang dilakukan AS pada pertengahan 1990-an telah membuat Indonesia beralih pada Eropa, khususnya Rusia, dan beberapa negara bekas pecahan blok timur lainnya.
Kepentingan AS
Kunjungan beberapa pejabat penting AS tentu menimbulkan pertanyaan besar. Sebelum Robert Gates, pada 2007 lalu menteri luar negeri Condoleezza Rice juga sempat mampir ke Tanah Air.Dapat dimaklumi bahwa dalam tiap kunjungan suatu negara ke negara lainnya untuk mengamankan kepentingannya.
Kepentingan dari segi ideologis mungkin sudah tidak begitu kentara pada saat ini. Bahkan, negara komunis sekelas Rusia dan China pun akhirnya takluk juga dengan terjangan kapitalisme seperti yang diramalkan Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man. Dari kacamata bisnis senjata, akan terlihat kepentingan AS sebagai pemain utama dunia.Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan kunjungan petinggi AS ke Indonesia dalam menawarkan kerja sama alutsista.Bahkan, sebelum kunjungan, pihak AS mengawali dengan pencabutan embargo senjata.
AS saat ini memang tengah dilanda resesi ekonomi. Berbagai cara ditempuh untuk menambah pemasukan negara. Di sisi lain, pangsa pasar (market share) AS dalam penjualan senjata ke berbagai negara dunia ketiga mengalami penurunan yang signifikan. Jika sebelumnya pada 2000–2003 sempat menguasai pangsa pasar di atas 40%,pada 2005 AS hanya mampu melakukan kesepakatan penjualan senjata sebesar 20%.
Kondisi sebaliknya terjadi pada Rusia yang sebelumnya hanya berkutat di pasar Eropa Timur yang umumnya negara bekas pecahannya. Jika pada 1998 hanya mampu menguasai pangsa pasar sebesar 9%, pada 2005 Rusia mampu menguasai hingga sebesar 23%, mengungguli AS dengan nilai perjanjian mencapai USD7 miliar.
Memanfaatkan Peluang
Posisi Indonesia sekarang sangat menguntungkan.Kedatangan Vladimir Putin dan Robert Gates yang keduanya menawarkan alutsista harus dipandang sebagai peluang bagi Indonesia. Pemerintah harus mengambil pilihan yang paling menguntungkan bagi kepentingan bangsa ini, baik dari kepentingan mendapatkan alutsista dengan harga paling murah, kesempatan alih teknologi,maupun kesempatan mempererat hubungan bilateral.
Dari segi harga dan spesifikasi, jelas tawaran dari Rusia lebih menguntungkan.Harga yang ditawarkan untuk alutsista asal Rusia cenderung lebih murah daripada barang sekelas buatan AS (lihat grafis). Namun, hal paling utama yang harus menjadi bahan pertimbangan Indonesia adalah sikap AS sebagai negara adikuasa yang cenderung semaunya. Hal itu bisa dilihat pada gambaran embargo senjata yang pernah dilakukan terhadap Indonesia.Beda dengan Rusia yang cenderung menerapkan sistem jual putus terhadap barangnya dan aura kepentingan politiknya cenderung lebih sedikit. Mungkin permasalahan utama yang juga dihadapi Indonesia dalam membeli senjata dari Rusia adalah bahasa.
Masalah bahasa ini sempat menjadi hambatan utama ketika sebelumnya pada 2003 Indonesia membeli dua pesawat Rusia,yaitu Su-27 dan Su-30. Perangkat lunak dan manual kedua pesawat tersebut menggunakan bahasa Rusia.Namun, masalah tersebut dapat dipecahkan dengan pengiriman beberapa teknisi dan pilot untuk dilatih khusus di Rusia. Keuntungan lain yang mungkin dapat diraih adalah masalah alih teknologi.Amerika sejak dulu terkenal pelit dalam membagi teknologinya, apalagi teknologi persenjataan.
Berbeda dengan Rusia yang tak segan-segan memberikan lisensi dan melakukan alih teknologi ke negara- negara sahabatnya. Keuntungan tersebut telah dirasakan Iran,Irak,India, Pakistan, Korea Utara, dan China. Negara-negara tersebut telah mampu mengembangkan senjata atas dasar alih teknologi dari Rusia. Potensi transfer teknologi tersebut kemungkinan besar bisa dimanfaatkan karena Indonesia telah mempunyai industri dasar yang bisa dikembangkan. Industri tersebut seperti Dirgantara Indonesia di bidang aeronautik,Pindad di bidang senjata darat, dan PAL di bidang senjata laut.
Tentunya keputusan ini harus dipertimbangkan secara matang oleh para pengambil keputusan bangsa.AS bagaimanapun memiliki hubungan yang panjang dengan Indonesia. Di sisi lain, Rusia ingin kembali mengulang kenangan manis pada masa Orde Lama, tentunya bukan dalam kerangka ideologis. Jangan sampai bangsa ini terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya dan akhirnya merugikan kepentingan bangsa. (pangeran ahmad nurdin/ litbang SINDO)
Dimuat pada Harian Seputar Indonesia edisi Senin, 3 Maret 2008
Senin, 03 Maret 2008
Membuka Hubungan,Meretas Peluang
Diposting oleh pangeran di 09.46
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar