Senin, 18 Februari 2008

Mengurai Sistem,Menyulam Demokrasi

Pilkada sebagai salah satu keberhasilan demokrasi menuai banyak kekecewaan.Perbedaan dan kekecewaan harus dihadapi lebih dewasa. Simplifikasi sistem mutlak diperlukan.

SILANG sengkarut pelaksanaan beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) akhirakhir ini membuat banyak pihak meragukan keefektifannya. Berbagai tudingan diarahkan ke konsep pilkada langsung.Banyak yang menganggap konsep ini memakan biaya material (material cost), biaya sosial (social cost), dan kesempatan (opportinity cost) yang terlalu besar untuk bangsa yang tengah bangkit ini.

Segelintir lainnya terjebak dalam berbagai ketidakpuasan yang diakhiri dengan bermacam konflik.Pilkada di satu sisi mengembuskan semilir sejuk angin demokrasi, sementaradisisilainmenggelontorkan masalah instabilitas dan pemborosan anggaran. Banyak pihak kembali bernostalgia pada stabilitas politik yang menjadi jualan utama pemerintahan Orde Baru (Orba).Namun, tak kurang pula bermacam ksatria demokrasi mati-matian membela konsep ini.

Pilkada langsung bagi kelompok ini dijadikan cerminan keberhasilan demokrasi Indonesia. Polemik sah-sah saja terjadi dalam hal persetujuan terhadap kelanjutan pelaksanaan pilkada langsung.Tapi, semuanya tentu harus merujuk ke arah demokrasi yang tengah kita bangun bersama. Adu wacana yang terjadi jangan sampai membuat kita terjerembab dalam goronggorong demokrasi atau jatuh ke otoritarianisme yang pernah ada pada Orde Baru.

Sampai saat ini sudah dilangsungkan 479 pilkada langsung di Indonesia, terdiri dari 459 pilkada tingkat kabupaten/ kota dan 20 tingkat provinsi. Ke depan masih ada sekitar 161 pilkada yang akan dihadapi bangsa ini pada 2008. Sebanyak 13 tingkat provinsi dan 148 tingkat kabupaten/ kota (lihat grafis). Persiapan, pengorbanan besar, serta kebesaran hati dari seluruh bangsa diperlukan untuk menghadapinya.

Simplifikasi Tahapan

Dari awal dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No 32/ 2004 mengenai Pilkada,rangkaian hajatan ini sudah menuai begitu banyak protes.

Aturan yang menjelaskan bahwa pilkada bukanlah pemilihan umum (pemilu) membuat banyak kalangan gelenggeleng kepala.Namun, akhirnya pola ini bisa diterima, dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tingkat provinsi atau kabupaten/ kota yang menjadi penanggung jawab tertingginya. Keanehan muncul pada UU No 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Di sana ditekankan bahwa ada hubungan hierarkis antara KPU pusat dengan KPUD.

Hasilnya adalah seperti yang terjadi pada hasil Pilkada Maluku Utara. Kisruh dan kebingungan terjadi ketika KPU Pusat menganulir keputusan KPUD Maluku Utara. Masalah lain juga muncul dalam kisruh Pilkada Sulawesi Selatan yang berujung pada pilkada ulang di empat kabupaten. Sebenarnya dua-duanya sah-sah saja untuk dilakukan. Namun,ketika kedua produk hukum bertabrakan, yang tercipta adalah kebingungan seperti yang terjadi dalam kasus Maluku Utara tersebut. Pemerintah harus lebih jelas dan tegas dalam melihat masalah ini.

Jangan sampai kesalahan yang mungkin saja tidak disengaja tersebut menghambat demokrasi bangsa yang besar ini. Memang, pilkada di Indonesia sangat panjang dan melelahkan. Bahkan, usulan untuk mendorong penghapusan pilkada ataupun pemilihan kepala daerah cukup oleh DPRD provinsi atau kabupaten/kota itu sah-sah saja. Namun, sebelum jauh melangkah, ada baiknya kita berkaca pada sejarah masa lalu yang menggambarkan besarnya pengaruh pola patrimonial dalam politik Indonesia. Lagi pula, usulan tersebut adalah sebuah langkah yang lari dari esensi masalah.

Kredo dasar dalam memecahkan masalah adalah cari akar masalahnya,perbaiki kekurangannya. Tentunya yang diinginkan tiap warga daerah adalah pemimpin yang mewakili kepentingannya. Jika lewat mekanisme DPRD, akan terjadi banyak distorsi.Yang paling kelihatan dan mungkin terjadi adalah distorsi kepentingan dari partai politik dan pemerintah pusat.Keduanya secara substansi akan mengembalikan Indonesia ke pola sentralistis.

Tampaknya kita sudah cukup kenyang pengalaman akan kebijakan sentralistis. Pola ini cenderung menggeneralisasi Indonesia yang bercorak. Ujung-ujungnya kebijakan yang diterapkan tak sesuai kebutuhan daerah. Hal yang sama akan sangat mungkin terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Untuk mempersingkat,bisa dicoba pilkada berbarengan tiap provinsi.Jadi,seluruh tahapan pilkada kabupaten/ kota dan provinsi digabung dalam satu waktu tertentu. Pola ini nanti bisa mengurangi risiko sosial dan material. Maka, masyarakat hanya disuguhi tiga kali pemilihan, yaitu pilkada, pemilu legislatif, dan pemilu presiden-wapres.

Tentunya hal tersebut membutuhkan produk hukum untuk memayunginya. Satu lagi yang perlu diingat, jika pilkada dihilangkan, kita perlu mengucapkan selamat tinggal pada calon independen. Jika kepala daerah dipilih melalui DPRD, tentu calon yang beredar adalah orang-orang partai atau setidaknya calon nonpartai, tetapi terdistorsi berat oleh kepentingan partai yang cenderung sentralistis.

Demokrasi, Pembangunan, dan Stabilitas Politik

Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), frase inilah yang menjadi salah satu dasar berharganya suara rakyat dalam demokrasi. Ungkapan yang dipopulerkan William of Malmesbury –sejarawan Inggris abad ke- 12– ini menimbulkan perdebatan yang panjang.

Alcuin dan Charlemagne, pahlawan Prancis pada masa lalu, pernah juga berkesimpulan bahwa suara rakyat tak selalu benar dan merupakan ekspresi Tuhan di muka bumi. Perdebatan berakhir tanpa ujung,apakah memang suara rakyat itu selalu baik atau bisa salah dan berakhir buruk. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah dasar dari segala hal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akar kata demokrasi yaitu demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan), yang juga dianut Indonesia, menegaskan pentingnya pendapat masyarakat.

Masalah perbedaan bisa berujung pada instabilitas politik memang sangat mungkin terjadi.Namun,yang perlu dipertanyakan adalah apakah perlu untuk mengorbankan demokrasi itu sendiri. Lucien W Pye dalam bukunya Aspects of Political Development (1966) memberikan beberapa indikator keberhasilan pembangunan.

Paling utama dari semuanya adalah masalah stabilitas politik. Nah, inilah yang menjadi pilihan Orde Baru dengan mengorbankan stabilitas politik. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya menghadapi konflik? Di sinilah peran partai politik diperlukan.Partai politik dalam skema demokrasi adalah aktor manajemen konflik sekaligus sarana artikulasi suara masyarakat yang menjadi inti dari demokrasi. Partai politik harus menjadi pelepas dahaga akan stabilitas bagi bangsa ini. (pangeran ahmad nurdin/ litbang SINDO)

Dimuat pada Harian Seputar Indonesia hari Senin, 18 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Archives


M S S R K J S