Selasa, 13 November 2007

Saatnya Kaum Hawa Unjuk Gigi

Dari zaman RA Kartini, tokoh rekaan Sitti Noerbaja, perempuan berada pada posisi yang tidak menguntungkan.Penyematan stereotip gender sudah layak diperdebatkan. Sejarah panjang patriarki dan aroma kental maskulinitas dalam kehidupan sosial membuat perempuan Indonesia bak dipasangi tali kekang pengikat.

Kaum hawa diperlakukan layaknya gadis kecil yang baru diberi sedikit kebebasan oleh orangtuanya. Kondisi yang kurang menguntungkan tersebut hanya mampu membuka sedikit peluang bagi perempuan di Indonesia. Politik merupakan salah satu bidang yang kerap dijauhkan dari sentuhan tangan perempuan. Patriarki sendiri adalah konsep yang melebih-lebihkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, memastikan bahwa laki-laki akan selalu dominan.

Selain itu, perempuan akan selalu mendapatkan peranan yang lebih rendah (Kate Millet, 1970). Doktrin utama patriarki menjelaskan,perempuan berpikir dengan rasa sedangkan laki-laki dengan akal.Konsep yang tampaknya sangat patut untuk diperdebatkan. Perempuan memang menempati posisi yang sangat tidak menguntungkan. Tengoklah kisah Raden Ajeng (RA) Kartini dan Raden Dewi Sartika serta tokoh novel rekaan Sitti Noerbaja yang menjadi potret umum kondisi bangsa ini prakemerdekaan. Sejarah memang pernah mencatat kehadiran perempuan menjadi pemimpinnya dalam sosok mantan presiden Megawati Soekarnoputri. Namun selain nama itu kelihatannya masih sulit bagi kita untuk membanggakan tokoh perempuan dalam sektor publik.

Miskin Representasi

Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Bahkan dalam Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 dijamin hak setiap warga negara dalam politik tanpa kecuali.Perempuan pun memiliki hak sama besar dengan laki-laki dalam tiap peri kehidupan di Indonesia. Namun kenyataan yang ada dan berbagai hambatan sistemik maupun kultural jelasjelas menghambat kemajuan peran perempuan untuk maju ke area publik, minimal untuk mewakili golongannya.

Padahal, dalam demokrasi dengan mode politik perwakilan, harusnya ada representasi tiap kelompok agar bagian-bagian dalam masyarakat Indonesia yang multikultur ini dapat terdengar pendapatnya. Chantal Mouffe, seorang ilmuwan politik, dalam Politics and the Limits of Liberalism menegaskan masalah identifikasi tersebut. Konsepnya menjelaskan, dalam kewarganegaraan terdapat identifikasi dalam bentuk tipe identitas politik. Identifikasi tersebut merupakan suatu bentuk rekayasa sosial (form of identification, a type of political identity; something to be constructed, not empirically given, Mouffe, 1992).

Rekayasa sosial inilah yang sering kali diterima mentah-mentah oleh masyarakat. Dalam teori itu Mouffe secara gamblang menjelaskan betapa perlunya representasi perempuan pada posisi pengambil keputusan. Baginya, rekayasa sosial itu diterima masyarakat dalam bentuk identitas. Identitas sendiri merupakan suatu kumpulan stereotip yang melekat dalam individu. Stereotip ini sangat memengaruhi tingkah laku individu karena berisi penilaian tentang sifat dan sifat dari suatu identitas, termasuk di dalamnya berbagai norma.

Teori tersebut jelas menggambarkan bahwa perwakilan dari perempuan adalah mutlak diperlukan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga perwakilan tertinggi di Indonesia ternyata dalam sejarahnya hanya pernah menjadi kantor bagi sedikit perempuan Indonesia. Pada awal DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara), hanya terdapat 9 perempuan dari total 245 anggota Dewan (lihat grafis). Angkanya sedikit bertambah pada masa 1956– 1960 yang mencapai 17 orang dari 289 anggota.Angka tersebut selalu naik sedikit-sedikit, tak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjenis kelamin perempuan.

Kisaran persentase anggota legislatif perempuan berkutat di bawah angka 10%. Rekor tertinggi perwakilan perempuan dicapai pada periode 1987–1992 sebanyak 65 orang anggota perempuan yang berarti 13% dari keseluruhan anggota Dewan yang berjumlah lima ratus orang. Saat ini ada 11,3 % anggota perempuan di DPR alias berjumlah 61 orang. Kondisi serupa juga ditemukan pada Dewan Perwakilan daerah (DPD). Saat ini hanya ada 27 orang anggota DPD perempuan (22%) yang lolos dari total 128 bangku yang tersedia di DPD. Jauh dibanding anggota laki-laki yang mampu meloloskan 101 orang (78%) di lembaga legislatif representasi daerah ini.

Setali tiga uang kondisi di lembaga eksekutif. Saat ini hanya 10% eselon satu dijabat kaum perempuan, sedangkan hanya 6% yang menjadi pejabat eselon dua. Untuk hakim, ada 24% hakim perempuan dan 26% jaksa (Pusat Pemberdayaan Perempuan). Angka tersebut sudah cukup baik dibandingkan saat awal perjuangan bangsa ini setelah kemerdekaan. Bahkan, dari 21 anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) saat itu tak beranggotakan satu pun perempuan. Namun, angka-angka jumlah perwakilan itu bagaimanapun masih jauh dari cukup. Total pemilih yang terdaftar pada pemilu 2004,perempuan mencapai 53% dan laki-laki 47%. Sudah semestinya angka keterwakilan perempuan lebih besar dari angka di atas.

Perlu Affirmative Action

Sistem yang berlaku saat ini memang sudah cukup mengakomodasi kepentingan masuknya perempuan ke dalam tataran posisi policy making. Namun, ketimpangan dan belum siapnya masyarakat membuat harus dipikirkan suatu cara untuk mendorong peran perempuan dalam politik Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk tindakan afirmatif (affirmative action) untuk menyejajarkan posisi saing antara laki-laki dan perempuan.Tindakan itu bisa dalam bentuk memudahkan calon perempuan atau pemberian berbagai macam insentif.

Tindakan tersebut sekalipun masih diperdebatkan secara sengit, setidaknya dapat dipahami karena ketimpangan posisi start antara perempuan dan laki-laki. Selama ini laki-laki telah menerima berbagai keuntungan dari stereotip yang dialamatkan kepada masing-masing laki-laki dan perempuan. Kondisi tersebut dapat kita lihat dengan jelas dalam pencalonan anggota legislatif pada Pemilu 2004.

Dalam rangka memenuhi prasyarat kuota keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon, banyak partai yang mampu memenuhi kuota 30% yang disyaratkan pemerintah. Namun, ada delapan partai yang angkanya hanya mendekati prasyarat dari pemerintah tersebut. Saat itu, rata-rata persentase nominasi perempuan dari seluruh parpol peserta pemilu mencapai 32,2% atau sejumlah 2.507 calon legislatif (caleg) perempuan dari total 7.756 caleg yang terdaftar (CETRO).

Namun ternyata, dari 2.507 caleg perempuan tersebut hanya 62 orang yang mampu lolos ke DPR atau sebanyak 2,5% dari calon yang maju. Sebaliknya, persentase yang lebih besar akan kita dapat dari caleg laki-laki. Dari 5.256 caleg yang maju, 487 di antaranya sukses menjadi anggota DPR. Berarti 9,3% caleg laki-laki mampu menjadi anggota DPR. Saat itu pun pemenuhan kuota calon perempuan layaknya formalitas saja. Umumnya caleg perempuan ditempatkan pada nomor urut bawah (nomor kaki), sehingga ketika suaranya tak mencapai bilangan pembagi pemilih (BPP) kesempatannya untuk terpilih menjadi anggota DPR sangat minim.

Seharusnya pemerintah mengaplikasi sistem kuota yang lebih ketat dalam perwakilan perempuan. Pemerintah bisa saja memberikan insentif bagi partai atas tiap anggota DPR perempuan yang lolos. Jika dahulu partai mendapat Rp21 juta dari tiap caleg yang lolos ke DPR, nantinya bisa jadi insentif diperbesar. Perempuan juga harus lebih padu dalam memperjuangkan haknya. Dalam konteks ini, ada baiknya perempuan membentuk suatu kaukus dalam mengedepankan kepentingan perempuan. Kaukus perempuan akan berisi perempuanperempuan yang berada pada posisi decision making. Kaukus ini sangat berguna karena selama ini pemahaman perempuan mengenai perjuangan perempuan menghadapi patriarki belumlah sama. (pangeran ahmad nurdin/ litbang SINDO)

Tidak ada komentar:

Archives


M S S R K J S